Minggu, 14 Oktober 2012

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Inisiasi Menyusu Dini Pada Ibu Post Partum

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sesuai dengan Visi dan Misi Indonesia Sehat 2010 yaitu: Departemen Kesehatan (Depkes) sebagai penggerak pembangunan kesehatan menuju terwujudnya Indonesia sehat, juga memantapkan manajemen kesehatan yang dinamis dan akuntabel, meningkatkan kinerja dan mutu upaya kesehatan, memberdayakan masyarakat dan daerah serta melaksanakan pembangunan kesehatan yang berskala nasional. Maka Depkes melaksanakan penyelenggaraan upaya kesehatan strata III, sehingga mampu melayani upaya rujukan kesehatan (Depkes RI, 2009).


Upaya rujukan kesehatan yang hingga kini terus meningkat adalah Angka Kematian Bayi (AKB). AKB di Indonesia masih sangat tinggi. Berdasarkan survei lainnya, yaitu Riset Kesehatan Dasar Depkes 2007, kematian bayi baru lahir (neonatus) merupakan penyumbang kematian terbesar pada tingginya angka kematian balita (AKB).  Menurut data BPS (2007) AKB sebanyak 26,9% per 1000 kelahiran hidup dan sekitar 25-50% kematian neonatal terjadi dalam 24 jam pertama.  Telah terbukti, pemberian ASI eksklusif dapat mencegah 13% kematian bayi dan bahkan 1990 jika dikombinasikan dengan makanan tambahan bayi setelah usia 6 bulan. Inisiatif inisiasi bayi menyusu sendiri segera setelah lahir dapat mengurangi risiko kematian bayi akibat berbagai penyakit. Risiko kematian bayi diperkirakan bisa berkurang sebanyak 22% jika inisiasi menyusui bayi baru lahir dilakukan setidaknya 1 jam (Susanto, Cornelius 2009).
Salah satu program kesehatan unggulan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah Program Perbaikan Gizi. Gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada proses pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Pertumbuhan dan perkembangan seorang anak merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan, baik lingkungan sebelum anak lahir (pre-natal) maupun setelah anak lahir (post-natal). Pada masa setelah anak lahir (post-natal) faktor gizi yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan adalah Air Susu Ibu (ASI) (Roesli, Utami 2007).  

ASI mengandung bermacam-macam enzim yang menguntungkan bagi bayi antara lain enzim lipase yang berfungsi mencerna lemak sehingga ASI lebih cepat dan mudah dicerna oleh bayi.  Enzim-enzim yang terkandung di dalam ASI juga sangat berperan dalam melindungi dan menghindarkan bayi dari berbagai penyakit infeksi seperti infeksi saluran pencernaan (diare) yang disebabkan oleh kuman Etamoeba coli, Shigela dan jamur (Soetjiningsih, 1997).

ASI sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak. Berdasarkan penelitian, anak-anak yang tidak diberi ASI mempunyai IQ (Intelegensi Quosient) lebih rendah tujuh sampai delapan poin dibandingkan dengan anak-anak yang diberi ASI. ASI juga berpengaruh pada kenaikan berat badan yang baik setelah lahir dan menurunkan kemungkinan obesitas, karena komposisi ASI sangat sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh bayi. Selain pada anak, pemberian ASI juga sangat bermanfaat bagi ibu. ASI selain dapat diberikan dengan cara mudah dan murah, juga dapat menurunkan resiko terjadinya perdarahan dan anemia pada ibu, serta menunda terjadinya kehamilan berikutnya. Hal lain yang jauh lebih penting adalah timbulnya ikatan batin (bounding) yang kuat antara ibu dan anak (Ayah-Bunda, 2005).

Pemberian ASI dalam satu jam pertama, bayi akan mendapatkan zat-zat gizi yang penting dan mereka terlindung dari berbagai penyakit berbahaya pada masa yang paling rentan dalam kehidupannya. Melihat begitu banyak manfaat yang didapat dari pemberian ASI, maka pemberian ASI harus mendapat perhatian yang besar. Menurut penelitian yang dilakukan di Ghana dan diterbitkan dalam jurnal ilmiah “Pediatric”, 22% kematian bayi baru lahir dapat dicegah bila bayi disusui ibunya dalam satu jam pertama kelahiran, karena ASI akan membantu meningkatkan daya tahan tubuh si bayi terhadap penyakit kanker syaraf, leukemia, dan beberapa penyakit lainnya.  Namun menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 di Indonesia hanya 4% bayi yang mendapatkan ASI dalam satu jam kelahirannya.

Menurut dokter di RS St.Carolus Jakarta, dengan memisahkan ibu dengan bayinya ternyata hormon stress akan meningkat 50% sehingga kekebalan dan daya tahan tubuh bayi menururun sampai 25%. Bayi dalam kondisi prima bila dekat dengan ibunya dan ibu dapat melakukan proteksi terhadap bayinya jika diperlukan.  Beberapa dokter lainnya juga mengatakan 95% bayi menangis bukan karena kelaparan, tapi karena dipisahkan dari ibunya. Karena berdasarkan penelitian, seorang bayi baru lahir, dibekali dari rahim ibunya untuk bertahan selama 2-3 hari tanpa makanan. Berdasarkan hasil penelitian tesebut maka diperkirakan program “Inisiasi menyusu dini” dapat menyelamatkan sekurangnya 30.000 bayi di Indonesia yang meninggal dalam bulan pertama kelahiran (Roesli, Utami 2008).

Bayi harus segera disusukan dalam waktu 30 menit setelah lahir. Beberapa pendapat mengatakan bahwa rangsangan putting susu akan mempercepat lahirnya plasenta melalui pelepasan oksitosin, yang dapat mengurangi resiko perdarahan postpartum. Meskipun ASI belum keluar, kontak fisik bayi dengan ibu harus tetap dilakukan karena memberikan rasa kepuasan psikologis yang dibutuhkan ibu agar proses menyusui berjalan lancar (Roesli, Utami 2008).

Menyusui dini pada bayi akan mengakibatkan segera terjalinnya proses lekat (early infant-mother bonding) akibat sentuhan badan antara ibu dan bayinya. Hal ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan psikologis bayi selanjutnya, karena kehangatan tubuh ibu merupakan stimulasi mental yang mutlak dibutuhkan oleh bayi sehingga bayi akan merasa aman dan terlindung. Menyusui dini merupakan dasar terbentuknya rasa percaya diri pada anak. Sedangkan ibu akan merasa bangga dan percaya diri karena dapat menyusui dan merawat bayinya sendiri (Roesli, Utami 2008).

Kegagalan menyusui sering disebabkan karena tidak menyusui dini pada satu jam pertama kelahiran. Bidan maupun perawat sebagai tenaga medis terdepan di tengah masyarakat dapat meningkatkan usaha preventif dan promotif payudara dengan jalan mengajarkan pemeliharaan payudara, cara memberikan ASI yang benar, memberikan ASI jangan pilih kasih kiri dan kanan harus sama perlakuannya dan diberikan sampai payudara kempes (Roesli, Utami, 2008).
Inisiasi menyusu dini (IMD) adalah inisiasi yang dilakukan ketika bayi lahir, tali pusat dipotong, lalu dilap kering dan langsung diberikan pada ibu. Harus ada sentuhan skin to skin contact, dimana bayi tidak boleh dipisahkan dulu dari ibu, selain itu yang perlu dijaga adalah suhu ruangan, dan sebaiknya bayi memakai topi, karena pada bagian kepala merupakan daerah yang banyak mengeluarkan panas. Suhu yang tepat adalah 28-29oC (Roesli, Utami, 2008).

Beberapa faktor penyebab yang diduga mempengaruhi pelaksanaan IMD adalah pengetahuan ibu bayi yang kurang, sikap dan dukungan dari keluarga terhadap pelaksanaan tersebut serta tenaga kesehatan yang kurang menyampaikan mengenai pentingnya IMD setelah dilakukan persalinan baik secara langsung (penyuluhan) maupun tidak langsung (memasang poster dan membagikan leaflet), karena berhasil atau tidaknya pelaksanaan IMD di tempat pelayanan ibu bersalin, rumah sakit, sangat tergantung pada petugas, yaitu bidan, perawat dan dokter.  Sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan, dan dukungan petugas yang dimiliki seseorang mampu mempengaruhi perilaku seseorang dalam bertindak sebagai Notoatmodjo (2005) menguraikan bahwa perilaku lebih banyak mengalami perubahan terhadap seseorang yang memiliki pandangan terhadap suatu permasalahan yang dimiliknya hingga ia mampu menyelesaikannya (Notoatmodjo, 2005)

Green (2005) menjelaskan bahwa perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor external) dengan respon (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut.  Faktor perilaku sendiri ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu pertama adalah faktor predisposisi.  Dengan tingginya pengetahuan seseorang, maka orang itu akan dengan cepat mengubah perilakunya dari kebiasaan yang buruk ke kebiasaan yang baik.  Faktor kedua adalah faktor pemungkin, yaitu dengan tercukupi sarana dan prasarana, maka orang tersebut akan mengambil tindakan (keputusan) untuk melakukan sesuatu.  Faktor ketiga merupakan penguat, adalah dengan adanya peraturan-peraturan dan undang-undang yang ada, maka seseorang semakin mantap dalam memutuskan sesuatu.

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2007 didapatkan bahwa Indonesia berada pada posisi tertinggi kedua setelah Brunei Darussalam dalam hal pemberian ASI pada anak dengan usia <6 1996-2005="1996-2005" 2007="2007" bulan="bulan" epkes="epkes" ri="ri" sepanjang="sepanjang" span="span" tahun="tahun"> 
Hal tersebut tentu saja membanggakan, namun sangat disayangkan ketika melihat pelaksanaannya di lapangan, bahwa pemberian ASI pada bayi usia <6 belum="belum" berarti.="berarti." bulan="bulan" dengan="dengan" diterbitkan="diterbitkan" hal="hal" hasil="hasil" i="i" ini="ini" melalui="melalui" menampakkan="menampakkan" penelitian="penelitian" peningkatkan="peningkatkan" saat="saat" terkait="terkait" tersebut="tersebut" yang="yang">Journal The Lancest (1990) menjelaskan bahwa bayi lahir normal yang dipisahkan dari ibunya, 50% tidak bisa menyusui sendiri, bayi lahir dengan obat-obatan tidak pisahkan dari ibu tidak semua dapat menyusu dan bayi lahir dengan obat-obatan/tindakan dan dipisahkan dari ibu 100% tidak bisa menyusu.

Menurut hasil Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2005 bahwa salah satu manfaat ASI bagi sang bayi yang diberikan oleh ibu pada saat bayi berusia 0-2 tahun adalah untuk melindungi bayi terhadap infeksi terutama infeksi Gastrointestinal, pernapasan dan virus. Provinsi Lampung memiliki persentasi jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif sudah cukup tinggi yaitu 70,33% atau 2.190 bayi dari jumlah bayi keseluruhan yaitu berjumlah 3.114 bayi (Profil Kesehatan Provinsi Lampung, 2005).

Rumah Sakit Umum Daerah Menggala (RSUD ZZZ) adalah salah satu sarana kesehatan yang ada di Provinsi Lampung tepatnya di Kabupaten Tulang Bawang yang juga memberikan pelayanan komprehensif terhadap ibu hamil, bersalin, nifas, perawatan bayi baru lahir dan keluarga berencana. Menurut cakupan pelaksanaan IMD di RSUD ZZZ pada tahun 2008 sebanyak 120 ibu post partum (52,3%) dari target 227 (89%) ibu post partum, sedangkan pada tahun 2009 hanya mengalami sedikit peningkatan yaitu sebesar 285 ibu post partum (77,4%) dari target 368 (89%) ibu post partum.

Berdasarkan pre survey yang dilakukan penulis selama bekerja terdapat perbedaan lamanya pengeluaran ASI antara ibu yang melakukan inisiasi menyusu dini dengan ibu yang tidak melakukan inisiasi menyusu dini. Terdapat 2 dari 10 ibu yang berhasil menyusui dalam 24 jam pertama postpartum tanpa melakukan IMD, dan 5 dari 10 ibu berhasil menyusui dalam 24 jam pertama postpartum dengan melakukan IMD.  Pada saat yang bersamaan peneliti menemukan bahwa 6 dari 10 orang ibu tidak mengerti tentang IMD, 7 dari 10 tidak memperlihatkan sikap yang positif terhadap IMD dan kurangnya dukungan dari suami (keluarga) dalam melakukan IMD.

Berdasarkan data di atas karena masih sedikit orangtua bayi yang  melakukan IMD, maka peneliti tertarik untuk mengetahui “Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku Inisiasi menyusu dini (IMD) pada ibu post partum Di Ruang Kebidanan RSZZZ tahun 2010”.

1.2  Identifikasi dan Perumusan Masalah

1.2.1        Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mendeskripsikan data yang merupakan identifikasi masalah, yaitu:
1.2.1.1  Masih rendahnya pengetahuan orangtua mengenai pentingnya dilakukan IMD. Pengetahuan, sikap, dukungan keluarga dan dukungan petugas kesehatan diduga mampu mempengaruhi terhadap pelaksanaan IMD di Ruang Kebidanan RSUD ZZZ.
1.2.1.2  Diperoleh hasil cakupan pelaksanaan IMD di RSUD ZZZ pada tahun 2008 sebanyak 120 ibu post partum (52,3%) dari target 227 (89%) ibu post partum, sedangkan pada tahun 2009 hanya mengalami sedikit peningkatan yaitu sebesar 285 ibu post partum (77,4%) dari target 368 (89%) ibu post partum
1.2.1.3  Diketahui bahwa 2 dari 10 ibu yang berhasil menyusui dalam 24 jam pertama postpartum tanpa melakukan IMD, dan 5 dari 10 ibu berhasil menyusui dalam 24 jam pertama postpartum dengan melakukan IMD

1.2.2        Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu belum diketahuinya apakah pengetahuan, sikap, dan dukungan petugas serta peran petugas merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku IMD pada ibu post partum Di Ruang Kebidanan RSZZZ tahun 2010?

1.3  Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1        Tujuan Penelitian
1.3.1.1  Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan perilaku IMD pada ibu post partum Di Ruang Kebidanan RSZZZ tahun 2010.
1.3.1.2  Tujuan Khusus
1.      Untuk mengetahui distribusi frekuensi IMD Di Ruang Kebidanan RSZZZ.
2.      Untuk mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan ibu bayi terhadap IMD.
3.      Untuk mengetahui distribusi frekuensi sikap ibu bayi terhadap IMD.
4.      Untuk mengetahui distribusi frekuensi dukungan keluarga ibu bayi terhadap IMD.
5.      Untuk mengetahui distribusi frekuensi dukungan petugas kesehatan terhadap IMD.
6.      Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan perilaku IMD pada ibu post partum Di Ruang Kebidanan RSZZZ.
7.      Untuk mengetahui hubungan sikap dengan perilaku IMD pada ibu post partum Di Ruang Kebidanan RSZZZ.
8.      Untuk mengetahui hubungan dukungan petugas kesehatan dengan perilaku IMD pada ibu post partum Di Ruang Kebidanan RSZZZ.

1.3.2        Manfaat Penelitian
1.3.2.1  Bagi Institusi Pendidikan STIKES ZZZ
Sebagai dokumen dan bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
1.3.2.2  Bagi Petugas Kesehatan RSUD ZZZ Kabupaten ZZZ
Dapat dijadikan masukan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan khususnya dalam pelaksanaan IMD pada ibu post partum.
1.3.2.3  Bagi Penulis
Sebagai penerapan dalam mata kuliah metode penelitian dan menambah pengetahuan serta pengalaman dalam penelitian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar