BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sesuai dengan Visi dan Misi Indonesia Sehat 2010
yaitu: Departemen Kesehatan (Depkes) sebagai penggerak pembangunan kesehatan
menuju terwujudnya Indonesia sehat, juga memantapkan manajemen kesehatan yang
dinamis dan akuntabel, meningkatkan kinerja dan mutu upaya kesehatan, memberdayakan
masyarakat dan daerah serta melaksanakan pembangunan kesehatan yang berskala
nasional. Maka Depkes melaksanakan penyelenggaraan upaya kesehatan strata III,
sehingga mampu melayani upaya rujukan kesehatan (Depkes RI, 2009).
Upaya
rujukan kesehatan yang hingga kini terus meningkat adalah Angka Kematian Bayi
(AKB). AKB di Indonesia masih sangat tinggi. Berdasarkan survei lainnya, yaitu
Riset Kesehatan Dasar Depkes 2007, kematian bayi baru lahir (neonatus) merupakan penyumbang kematian
terbesar pada tingginya angka kematian balita (AKB). Menurut data BPS (2007) AKB sebanyak 26,9% per
1000 kelahiran hidup dan sekitar 25-50% kematian neonatal terjadi dalam 24 jam
pertama. Telah terbukti, pemberian ASI
eksklusif dapat mencegah 13% kematian bayi dan bahkan 1990 jika dikombinasikan
dengan makanan tambahan bayi setelah usia 6 bulan. Inisiatif inisiasi bayi
menyusu sendiri segera setelah lahir dapat mengurangi risiko kematian bayi
akibat berbagai penyakit. Risiko kematian bayi diperkirakan bisa berkurang
sebanyak 22% jika inisiasi menyusui bayi baru lahir dilakukan setidaknya 1 jam
(Susanto, Cornelius 2009).
Salah satu
program kesehatan unggulan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah Program Perbaikan
Gizi. Gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada proses pertumbuhan
dan perkembangan seorang anak. Pertumbuhan dan perkembangan seorang anak
merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan, baik lingkungan
sebelum anak lahir (pre-natal) maupun
setelah anak lahir (post-natal). Pada
masa setelah anak lahir (post-natal)
faktor gizi yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan adalah Air Susu Ibu
(ASI) (Roesli, Utami 2007).
ASI
mengandung bermacam-macam enzim yang menguntungkan bagi bayi antara lain enzim lipase yang berfungsi mencerna
lemak sehingga ASI lebih cepat dan mudah dicerna oleh bayi. Enzim-enzim yang terkandung di dalam ASI juga
sangat berperan dalam melindungi dan menghindarkan bayi dari berbagai penyakit
infeksi seperti infeksi saluran pencernaan (diare) yang disebabkan oleh kuman Etamoeba coli, Shigela dan jamur (Soetjiningsih, 1997).
ASI sangat
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak. Berdasarkan
penelitian, anak-anak yang tidak diberi ASI mempunyai IQ (Intelegensi Quosient) lebih rendah tujuh sampai delapan poin
dibandingkan dengan anak-anak yang diberi ASI. ASI juga berpengaruh pada
kenaikan berat badan yang baik setelah lahir dan menurunkan kemungkinan
obesitas, karena komposisi ASI sangat sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan
oleh bayi. Selain pada anak, pemberian ASI juga sangat bermanfaat bagi ibu. ASI
selain dapat diberikan dengan cara mudah dan murah, juga dapat menurunkan
resiko terjadinya perdarahan dan anemia pada ibu, serta menunda terjadinya
kehamilan berikutnya. Hal lain yang jauh lebih penting adalah timbulnya ikatan
batin (bounding) yang kuat antara ibu
dan anak (Ayah-Bunda, 2005).
Pemberian ASI dalam satu jam pertama, bayi akan
mendapatkan zat-zat gizi yang penting dan mereka terlindung dari berbagai
penyakit berbahaya pada masa yang paling rentan dalam kehidupannya. Melihat
begitu banyak manfaat yang didapat dari pemberian ASI, maka pemberian ASI harus
mendapat perhatian yang besar. Menurut penelitian yang dilakukan di Ghana dan
diterbitkan dalam jurnal ilmiah “Pediatric”,
22% kematian bayi baru lahir dapat dicegah bila bayi disusui ibunya dalam satu
jam pertama kelahiran, karena ASI akan membantu meningkatkan daya tahan tubuh
si bayi terhadap penyakit kanker syaraf, leukemia,
dan beberapa penyakit lainnya. Namun
menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 di Indonesia
hanya 4% bayi yang mendapatkan ASI dalam satu jam kelahirannya.
Menurut dokter di RS St.Carolus Jakarta, dengan
memisahkan ibu dengan bayinya ternyata hormon stress akan meningkat 50%
sehingga kekebalan dan daya tahan tubuh bayi menururun sampai 25%. Bayi dalam
kondisi prima bila dekat dengan ibunya dan ibu dapat melakukan proteksi
terhadap bayinya jika diperlukan. Beberapa dokter lainnya juga mengatakan 95% bayi
menangis bukan karena kelaparan, tapi karena dipisahkan dari ibunya. Karena
berdasarkan penelitian, seorang bayi baru lahir, dibekali dari rahim ibunya
untuk bertahan selama 2-3 hari tanpa makanan. Berdasarkan hasil penelitian
tesebut maka diperkirakan program “Inisiasi menyusu dini” dapat menyelamatkan
sekurangnya 30.000 bayi di Indonesia yang meninggal dalam bulan pertama
kelahiran (Roesli, Utami 2008).
Bayi harus
segera disusukan dalam waktu 30 menit setelah lahir. Beberapa pendapat
mengatakan bahwa rangsangan putting susu akan mempercepat lahirnya plasenta
melalui pelepasan oksitosin, yang dapat mengurangi resiko perdarahan postpartum.
Meskipun ASI belum keluar, kontak fisik bayi dengan ibu harus tetap dilakukan
karena memberikan rasa kepuasan psikologis yang dibutuhkan ibu agar proses
menyusui berjalan lancar (Roesli, Utami 2008).
Menyusui dini pada bayi akan mengakibatkan segera
terjalinnya proses lekat (early
infant-mother bonding) akibat sentuhan badan antara ibu dan bayinya. Hal
ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan psikologis bayi
selanjutnya, karena kehangatan tubuh ibu merupakan stimulasi mental yang mutlak
dibutuhkan oleh bayi sehingga bayi akan merasa aman dan terlindung. Menyusui
dini merupakan dasar terbentuknya rasa percaya diri pada anak. Sedangkan ibu
akan merasa bangga dan percaya diri karena dapat menyusui dan merawat bayinya
sendiri (Roesli, Utami 2008).
Kegagalan menyusui sering disebabkan karena tidak menyusui dini pada satu
jam pertama kelahiran. Bidan maupun perawat sebagai tenaga medis terdepan di
tengah masyarakat dapat meningkatkan usaha preventif
dan promotif payudara dengan jalan
mengajarkan pemeliharaan payudara, cara memberikan ASI yang benar, memberikan
ASI jangan pilih kasih kiri dan kanan harus sama perlakuannya dan diberikan
sampai payudara kempes (Roesli, Utami, 2008).
Inisiasi
menyusu dini (IMD) adalah inisiasi yang dilakukan ketika bayi lahir, tali pusat
dipotong, lalu dilap kering dan langsung diberikan pada ibu. Harus ada sentuhan
skin to skin contact, dimana bayi
tidak boleh dipisahkan dulu dari ibu, selain itu yang perlu dijaga adalah suhu
ruangan, dan sebaiknya bayi memakai topi, karena pada bagian kepala merupakan
daerah yang banyak mengeluarkan panas. Suhu yang tepat adalah 28-29oC
(Roesli, Utami, 2008).
Beberapa
faktor penyebab yang diduga mempengaruhi pelaksanaan IMD adalah pengetahuan ibu
bayi yang kurang, sikap dan dukungan dari keluarga terhadap pelaksanaan
tersebut serta tenaga kesehatan yang kurang menyampaikan mengenai pentingnya
IMD setelah dilakukan persalinan baik secara langsung (penyuluhan) maupun tidak
langsung (memasang poster dan membagikan leaflet),
karena berhasil atau tidaknya pelaksanaan IMD di tempat pelayanan ibu bersalin,
rumah sakit, sangat tergantung pada petugas, yaitu bidan, perawat dan
dokter. Sebagaimana diketahui bahwa
pengetahuan, dan dukungan petugas yang dimiliki seseorang mampu mempengaruhi
perilaku seseorang dalam bertindak sebagai Notoatmodjo (2005) menguraikan bahwa
perilaku lebih banyak mengalami perubahan terhadap seseorang yang memiliki
pandangan terhadap suatu permasalahan yang dimiliknya hingga ia mampu
menyelesaikannya (Notoatmodjo, 2005)
Green
(2005) menjelaskan bahwa perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor external) dengan respon (faktor
internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Faktor perilaku sendiri ditentukan oleh tiga
faktor utama, yaitu pertama adalah faktor
predisposisi. Dengan tingginya
pengetahuan seseorang, maka orang itu akan dengan cepat mengubah perilakunya
dari kebiasaan yang buruk ke kebiasaan yang baik. Faktor kedua adalah faktor pemungkin, yaitu
dengan tercukupi sarana dan prasarana, maka orang tersebut akan mengambil
tindakan (keputusan) untuk melakukan sesuatu.
Faktor ketiga merupakan penguat, adalah dengan adanya
peraturan-peraturan dan undang-undang yang ada, maka seseorang semakin mantap
dalam memutuskan sesuatu.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia
2007 didapatkan
bahwa Indonesia berada pada posisi tertinggi kedua setelah Brunei
Darussalam
dalam hal pemberian ASI pada anak dengan usia <6 1996-2005="1996-2005" 2007="2007" bulan="bulan" epkes="epkes" ri="ri" sepanjang="sepanjang" span="span" tahun="tahun"> 6>
Hal
tersebut tentu saja membanggakan, namun sangat disayangkan ketika
melihat
pelaksanaannya di lapangan, bahwa pemberian ASI pada bayi usia <6 belum="belum" berarti.="berarti." bulan="bulan" dengan="dengan" diterbitkan="diterbitkan" hal="hal" hasil="hasil" i="i" ini="ini" melalui="melalui" menampakkan="menampakkan" penelitian="penelitian" peningkatkan="peningkatkan" saat="saat" terkait="terkait" tersebut="tersebut" yang="yang">Journal
The Lancest (1990) menjelaskan bahwa bayi lahir normal yang dipisahkan dari
ibunya, 50% tidak bisa menyusui sendiri, bayi lahir dengan obat-obatan tidak
pisahkan dari ibu tidak semua dapat menyusu dan bayi lahir dengan
obat-obatan/tindakan dan dipisahkan dari ibu 100% tidak bisa menyusu.
6>
Menurut
hasil Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2005 bahwa salah satu
manfaat ASI bagi sang bayi yang diberikan oleh ibu pada saat bayi berusia 0-2
tahun adalah untuk melindungi bayi terhadap infeksi terutama infeksi
Gastrointestinal, pernapasan dan virus. Provinsi Lampung memiliki persentasi jumlah bayi yang diberi ASI
eksklusif sudah cukup tinggi yaitu 70,33% atau 2.190 bayi dari jumlah bayi
keseluruhan yaitu berjumlah 3.114 bayi (Profil Kesehatan Provinsi Lampung,
2005).
Rumah Sakit
Umum Daerah Menggala (RSUD ZZZ) adalah salah satu sarana kesehatan yang ada di
Provinsi Lampung tepatnya di Kabupaten Tulang Bawang yang juga memberikan
pelayanan komprehensif terhadap ibu hamil, bersalin, nifas, perawatan bayi baru
lahir dan keluarga berencana. Menurut cakupan pelaksanaan IMD di RSUD ZZZ pada
tahun 2008 sebanyak 120 ibu post partum (52,3%) dari target 227 (89%) ibu post
partum, sedangkan pada tahun 2009 hanya mengalami sedikit peningkatan yaitu
sebesar 285 ibu post partum (77,4%) dari target 368 (89%) ibu post partum.
Berdasarkan
pre survey yang dilakukan penulis selama bekerja terdapat perbedaan lamanya
pengeluaran ASI antara ibu yang melakukan inisiasi menyusu dini dengan ibu yang
tidak melakukan inisiasi menyusu dini. Terdapat 2 dari 10 ibu yang berhasil
menyusui dalam 24 jam pertama postpartum tanpa melakukan IMD, dan 5 dari 10 ibu
berhasil menyusui dalam 24 jam pertama postpartum dengan melakukan IMD. Pada saat yang bersamaan peneliti menemukan
bahwa 6 dari 10 orang ibu tidak mengerti tentang IMD, 7 dari 10 tidak
memperlihatkan sikap yang positif terhadap IMD dan kurangnya dukungan dari
suami (keluarga) dalam melakukan IMD.
Berdasarkan data di atas karena masih sedikit orangtua bayi yang melakukan IMD, maka peneliti tertarik untuk
mengetahui “Faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku Inisiasi menyusu dini (IMD) pada ibu post partum Di
Ruang Kebidanan RSZZZ tahun 2010”.
1.2 Identifikasi
dan Perumusan Masalah
1.2.1
Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, penulis mendeskripsikan data yang merupakan identifikasi
masalah, yaitu:
1.2.1.1
Masih rendahnya pengetahuan orangtua mengenai pentingnya
dilakukan IMD. Pengetahuan,
sikap, dukungan keluarga dan dukungan petugas kesehatan diduga mampu
mempengaruhi terhadap pelaksanaan IMD di Ruang Kebidanan RSUD ZZZ.
1.2.1.2
Diperoleh hasil cakupan pelaksanaan IMD di RSUD
ZZZ pada tahun 2008 sebanyak 120 ibu post partum (52,3%) dari target 227 (89%)
ibu post partum, sedangkan pada tahun 2009 hanya mengalami sedikit peningkatan
yaitu sebesar 285 ibu post partum (77,4%) dari target 368 (89%) ibu post partum
1.2.1.3
Diketahui bahwa 2 dari 10 ibu yang berhasil
menyusui dalam 24 jam pertama postpartum tanpa melakukan IMD, dan 5 dari 10 ibu
berhasil menyusui dalam 24 jam pertama postpartum dengan melakukan IMD
1.2.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat
dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu belum diketahuinya apakah pengetahuan, sikap, dan
dukungan petugas serta peran petugas merupakan faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku IMD pada ibu post partum Di Ruang Kebidanan RSZZZ tahun 2010?
1.3 Tujuan
dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian
1.3.1.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor apa
saja yang berhubungan dengan perilaku IMD pada ibu post partum Di Ruang
Kebidanan RSZZZ tahun 2010.
1.3.1.2 Tujuan
Khusus
1. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi IMD Di Ruang Kebidanan RSZZZ.
2. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan ibu bayi terhadap IMD.
3. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi sikap ibu bayi terhadap IMD.
4. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi dukungan keluarga ibu bayi terhadap IMD.
5. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi dukungan petugas kesehatan terhadap IMD.
6. Untuk
mengetahui hubungan pengetahuan dengan perilaku IMD pada ibu post partum Di
Ruang Kebidanan RSZZZ.
7. Untuk
mengetahui hubungan sikap dengan perilaku IMD pada ibu post partum Di Ruang
Kebidanan RSZZZ.
8.
Untuk
mengetahui hubungan dukungan petugas kesehatan dengan perilaku IMD pada ibu
post partum Di Ruang Kebidanan RSZZZ.
1.3.2
Manfaat Penelitian
1.3.2.1 Bagi
Institusi Pendidikan STIKES ZZZ
Sebagai dokumen dan bahan perbandingan untuk
penelitian selanjutnya.
1.3.2.2
Bagi Petugas
Kesehatan RSUD ZZZ Kabupaten ZZZ
Dapat dijadikan
masukan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan khususnya dalam pelaksanaan
IMD pada ibu post partum.
1.3.2.3 Bagi
Penulis
Sebagai penerapan dalam mata kuliah metode penelitian
dan menambah pengetahuan serta pengalaman dalam penelitian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar