BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas
telah dikembangkan visi pembangunan kesehatan yaitu Indonesia sehat 2010 yang
diantaranya mengharapkan peningkatan perilaku yang proaktif untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan. Mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi
diri dari ancaman penyakit, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan
masyarakat. Seluruh upaya diatas memiliki kaitan erat dalam perbaikan gizi
dapat diandalkan sebagai tindakan promotif dan preventif yang merupakan jiwa
dari visi Indonesia sehat 2010 (Depkes RI, 2002).
Tujuan utama
pembangunan Nasional adalah peningkatan SDM yang dilakukan secara
berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dengan pemenuhan
kebutuhan dasar manusia dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak
sejak pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini pemenuhan dasar anak seperti
perawatan dan makanan bergizi yang diberikan secara baik dan benar dapat
membentuk SDM yang sehat dan produktif. Anak sebagai aset SDM dan generasi
penerus perlu diperhatikan kehidupannya. Kecukupan gizi dan pangan merupakan
salah satu faktor terpenting dalam pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia.
Kecukupan gizi sangat mempengaruhi terhadap kecerdasan dan produktivitas kerja manusia.
Banyak aspek yang berpengaruh terhadap status gizi antara lain aspek pola
pangan, sosial budaya dan pengaruh konsumsi pangan (Suhardjo, 2003).
Kelompok usia sekolah termasuk golongan penduduk berada pada masa
pertumbuhan yang cepat dan aktif. Dalam kondisi anak harus mendapatkan masukan
gizi dalam kuantitas dan kualitas yang cukup. Status gizi anak sebagai cerminan
kecukupan gizi, merupakan salah satu tolak ukur yang penting untuk menilai
keadaan pertumbuhan dan status kesehatannya. Usia antara 6 sampai 12 tahun
adalah usia anak yang duduk dibangku SD. Pada masa ini anak mulai masuk kedalam
dunia baru, anak mulai banyak berhubungan dengan orang-orang diluar keluarganya
dan berkenalan dengan suasana dan lingkungan baru dalam kehidupannya (Mochji,
2003). Pada umur ini anak lebih banyak aktifitasnya, baik di sekolah maupun di
luar sekolah, sehingga anak perlu energi lebih banyak. Pertumbuhan anak lambat
tetapi pasti, sesuai dengan banyaknya makanan yang dikonsumsi anak. Sebaiknya
anak diberikan makanan pagi sebelum ke sekolah, agar anak dapat berkonsentrasi pada
pelajaran dengan baik dan berprestasi (Soetjiningsih, 2002).
Indonesia menghadapi masalah gizi ganda,
yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang pada
umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya
kualitas lingkungan, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu
seimbang dan kesehatan dan adanya daerah miskin gizi. Masalah gizi lebih
disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai
dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan (Almatsier,
2001).
Survey Depkes tahun 1997 terhadap 600 ribu
anak SD di 27 propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa anak sekolah yang mengalami
gangguan masalah kurang gizi berkisar antara 13,6%-43,7%. Masalah kekurangan
gizi pada usia SD terlihat dengan prevalensi kekurangan energi protein di Indonesia
pada siswa SD/MI sebesar 30,1%. Sedangkan prevalensi anemia besi mencakup
sekitar 25-40%. Besarnya prevalensi gangguan pertumbuhan pada siswa SD/MI di
Indonesia sebesar 32% di pedesaan dan 18% di wilayah perkotaan (Soekirman,
2000).
Anak sekolah merupakan salah satu kelompok
rentan terhadap ketidak cukupan gizi, sehingga anak sekolah harus dipantau agar
ketidak cukupan gizi bisa diindari. Sediaoetama (2000) menyatakan bahwa
kelompok rentan terhadap ketidakcukupan gizi di Indonesiaantara lain : Kelompok
Bayi, Anak Balita (Bawah Lima Tahun), Kelompok Anak Sekolah, Kelompok Remaja,
Kelompok Ibu Hamil, Ibu yang Menyusukan dan Manusia Usia Lanjut (Manula).
Menurut Sediaoetama (2000) “terdapat berbagai kondisi gizi anak sekolah yang
tidak memuaskan antara lain: berat badan yang kurang, anemia defisiensi Fe,
defisiensi vitamin C dan di daerah tertentu juga defisiensi yodium. Upaya
perbaikan gizi yang di lakukan oleh pemerintah yakni melalui Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS), dan pihak swasta berupa program suplementasi makanan tambahan di
sekolah atau program makan siang sekolah (School Lunch Program)”.
Call dan Levinson (dalam I Dewa Nyoman S, 2001) “faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi seseorang adalah konsumsi makanan dan status
kesehatan, dimana keduanya tergantung pada : zat gizi dalam makanan; ada
tidaknya program pemberian makanan di luar keluarga; daya beli keluarga;
kebiasaan makan; pemeliharaan kesehatan; dan lingkungan fisik dan sosial”.
Beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi
perilaku orangtua terhadap asuhan gizi anak adalah pengetahuan orangtua yang
kurang, sikap dan peranan/dorongan (motivasi) dari keluarga terhadap
pelaksanaan tersebut serta informasi dari tenaga kesehatan yang kurang diterima
dari masyarakat mengenai pentingnya gizi, baik anak pra sekolah maupun sekolah yang
pernag dilakukan secara langsung (penyuluhan) maupun tidak langsung (memasang
poster dan membagikan leaflet), karena berhasil atau tidaknya permberian gizi
bukan ditentukan oleh petugas kesehatan saja, tapi juga orangtua dan keluarga yaitu
orangtua/keluarga di rumah dan guru di sekolah.
Sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan, dan sikap yang dimiliki
seseorang mampu mempengaruhi perilaku seseorang dalam bertindak sebagai
Notoatmodjo (2005) menguraikan bahwa perilaku lebih banyak mengalami perubahan
terhadap seseorang yang memiliki pandangan terhadap suatu permasalahan yang
dimiliknya hingga ia mampu menyelesaikannya.
Green (2005) menjelaskan bahwa perilaku
adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor external) dengan respon (faktor
internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Faktor perilaku sendiri ditentukan oleh tiga
faktor utama, yaitu pertama adalah faktor predisposisi. Dengan tingginya pengetahuan seseorang, maka
orang itu akan dengan cepat mengubah perilakunya dari kebiasaan yang buruk ke
kebiasaan yang baik. Faktor kedua adalah
faktor pemungkin, yaitu dengan tercukupi sarana dan prasarana, maka orang
tersebut akan mengambil tindakan (keputusan) untuk melakukan sesuatu. Faktor ketiga merupakan penguat, adalah
dengan adanya peraturan-peraturan dan undang-undang yang ada, maka seseorang
semakin mantap dalam memutuskan sesuatu.
Berdasarkan
Profil
Kesehatan Indonesia 2007 didapatkan bahwa Indonesia berada pada posisi
tertinggi kedua setelah Brunei Darussalam dalam hal pemberian ASI pada
anak
dengan usia <6 1996-2005="1996-2005" 2007="2007" bulan="bulan" epkes="epkes" ri="ri" sepanjan="sepanjan" span="span" tahun="tahun">
6>Hal tersebut tentu saja membanggakan, namun
sangat disayangkan ketika melihat pelaksanaannya di lapangan, bahwa
pemberian
ASI pada bayi usia <6 belum="belum" berarti.="berarti." bulan="bulan" dengan="dengan" diterbitkan="diterbitkan" hal="hal" hasil="hasil" i="i" ini="ini" melalui="melalui" menampakkan="menampakkan" penelitian="penelitian" peningkatkan="peningkatkan" saat="saat" terkait="terkait" tersebut="tersebut" yang="yang">Journal The Lancest6>
(1990) menjelaskan
bahwa bayi lahir normal yang dipisahkan dari ibunya, 50% tidak bisa menyusui
sendiri, bayi lahir dengan obat-obatan tidak pisahkan dari ibu tidak semua
dapat menyusu dan bayi lahir dengan obat-obatan/tindakan dan dipisahkan dari
ibu 100% tidak bisa menyusu.
Ikhwansah (2004) dalam
penelitiannya yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
pendidikan, sikap ibu terhadap balita, akses terhadap sarana kesehatan, sikap
petugas, jumlah anak dan sanitasi rumah dengan status gizi balita. Yang
berhubungan secara bermakna P<0 ada="ada" anak="anak" antara="antara" asupan="asupan" bahwa="bahwa" balita="balita" begitupun="begitupun" dan="dan" dari="dari" dengan="dengan" gizi="gizi" hasil="hasil" hubungan="hubungan" i="i" imunisasi="imunisasi" kesimpulan="kesimpulan" makan="makan" makanan.="makanan." menyebutkan="menyebutkan" mirzawati="mirzawati" pekerjaan="pekerjaan" penelitian="penelitian" pengetahuan="pengetahuan" pola="pola" status="status" tidak="tidak" yaitu="yaitu" yang="yang">p
valu0>
e 0,593).
Pola makan yang tidak sama dan dipengaruhi oleh banyak hal akan menimbulkan perbedaan asu pan
makanan yang diterima oleh anak balita
perbedaan pola makan tersebut tentu akan menyebabkan status gizi anak balita yang tidak sama pula. Risiko
untuk memiliki status gizi kurang pada anak
balita dengan pola makan kurang baik adalah tujuh belas kali lebih tinggi dari pada anak balita dengan pola makan
baik (Himawati dalam: Hidayati,
2001).
Masa anak, khususnya
masa di bawah lima tahun, merupakan masa kritis dalam proses tumbuh kembang manusia (Departemen Kesehatan RI, 1994). Hal ini karena masa ini merupakan masa
paling cepat untuk pertumbuhan dan
perkembangan otak, di samping pada masa kandungan (Widjaja dalam: Muwakhidah dan Zulaekah, 2004). Jika usia
ini tidak dikelola dengan baik, apalagi
kondisi gizinya buruk, dikemudian hari kemungkinan akan terjadi gangguan tumbuh kembang dan selanjutnya akan
sulit terwujud perbaikan kualitas bangsa. Salah satu cara untuk
mewujudkan harapan tersebut adalah
dengan mengenalkan makanan bergizi dan pola makan yang sehat kepada bayi dan balita (Muwakhidah dan Zulaekah,
2004).
Hasil penelitian Munthoifah (2007) menunjukkan terdapat hubungan yang
bermakna antara status gizi anak balita dengan pengetahuan, sikap, maupun
perilaku ibu (pengetahuan OR 17.02, CI95% 6.29-46.09; sikap OR 4.83, CI95%
2.10-11.13; perilaku OR 3.34, CI95% 1.53-7.28). Di samping itu umur berhubungan
dengan status gizi anak balita. Variabel-variabel lainnya seperti pendidikan
dan pekerjaan ibu tidak menunjukkan hubungan dengan status gizi anak balita.
Data Dinas Kesehatan
Kabupaten Lampung Timur Tahun 2007 menunjukkan dari 103 anak usia sekolah yang
mengalami kebutuhan/asupan gizi kurang 26 diantaranya berasal dari di Kecamatan
Waway Karya, kemudian diketahui pula bahwa orang tua anak-anak tersebut berpendidikan
SD/MI 55 orang (53,4%), tidak tamat SD 7 orang (6,8%), SLTP/MTS 6 orang (5,8%),
SLTA/MA 3 orang (2,9%), Darul Islam 2 orang (1,94%), dan tanpa keterangan 30
orang (29,12%).
Dari hasil pre survey yang penulis lakukan pada awal bulan Maret 2010, didapatkan 7 dari 10
orang ibu yang memiliki anak usia sekolah tidak mengetahui kebutuhan/asupan
gizi anaknya, sedangkan 3 orang ibu lainnya mengatakan tahu tentang
kebutuhan/asupan gizi anaknya, tapi masih bingung dalam penyajiannya, sementara
6 dari 10 orang ibu mengatakan kebutuhan/asupan gizi anak tidak perlu
bergantung dari orang lain dan cukup keluarga saja dan 4 orang ibu lainnya mempercayakan
kebutuhan/asupan gizi anaknya cukup dengan memberi uang jajan.
Berdasarkan
dari fenomena tersebut, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai faktor-faktor yang berhubungan antara perilaku orangtua dengan
asupan gizi di SDN 1 ZZZ Kecamatan ZZZ tahun 2010.
1.2 Identifikasi
dan Perumusan Masalah
1.2.1
Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, penulis mendeskripsikan data yang merupakan identifikasi
masalah, yaitu:
1.2.1.1
Ditemukan
bahwa dari 103 anak usia sekolah yang mengalami kebutuhan/asupan gizi kurang 26
diantaranya berasal dari di Kecamatan Waway Karya, kemudian diketahui pula
bahwa orang tua anak-anak tersebut berpendidikan SD/MI 55 orang (53,4%), tidak
tamat SD 7 orang (6,8%), SLTP/MTS 6 orang (5,8%), SLTA/MA 3 orang (2,9%), Darul
Islam 2 orang (1,94%), dan tanpa keterangan 30 orang (29,12%).
1.2.1.2
Didapatkan 7
dari 10 orang ibu yang memiliki anak usia sekolah tidak mengetahui
kebutuhan/asupan gizi anaknya, sedangkan 3 orang ibu lainnya mengatakan tahu
tentang kebutuhan/asupan gizi anaknya, tapi masih bingung dalam penyajiannya,
sementara 6 dari 10 orang ibu mengatakan kebutuhan/asupan gizi anak tidak perlu
bergantung dari orang lain dan cukup keluarga saja dan 4 orang ibu lainnya
mempercayakan kebutuhan/asupan gizi anaknya cukup dengan memberi uang jajan.
1.2.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini
yaitu faktor-faktor apa saja yang berhubungan antara perilaku orangtua dengan
asupan gizi di SDN 1 ZZZ Kecamatan ZZZ tahun 2010.
1.3 Tujuan
dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian
1.3.1.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor
yang berhubungan antara perilaku orangtua dengan asupan gizi di SDN 1 ZZZ Kecamatan
ZZZ tahun 2010.
1.3.1.2 Tujuan
Khusus
1. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan orangtua siswa SDN 1 ZZZ Kecamatan
ZZZ tahun 2010.
2. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi sikap orangtua siswa SDN 1 ZZZ Kecamatan ZZZ
tahun 2010.
3. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi peranan/dukungan keluarga siswa SDN 1 ZZZ Kecamatan
ZZZ tahun 2010.
4. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi asupan gizi siswa SDN 1 ZZZ Kecamatan ZZZ tahun
2010.
5. Untuk
mengetahui hubungan pengetahuan orang tua dengan asupan gizi siswa SDN 1 ZZZ Kecamatan
ZZZ tahun 2010.
6. Untuk
mengetahui hubungan sikap orang tua dengan asupan gizi siswa SDN 1 ZZZ Kecamatan
ZZZ tahun 2010.
7. Untuk
mengetahui hubungan peranan/dukungan keluarga dengan asupan gizi siswa SDN 1
ZZZ Kecamatan ZZZ tahun 2010.
1.3.2
Manfaat Penelitian
1.3.2.1 Bagi
Institusi Pendidikan STIKES ZZZ
Sebagai dokumen dan bahan perbandingan untuk
penelitian selanjutnya.
1.3.2.2 Bagi
Petugas Kesehatan (Puskesmas ZZZ)
Untuk menambah wawasan bagi petugas kesehatan dalam
memberikan penyuluhan berupa informasi gizi umumnya pada orangtua siswa SDN 1
ZZZ khususnya agar lebih memperhatikan tentang pentingnya manfaat gizi bagi
siswa.
1.3.2.3 Bagi
Penulis
Sebagai penerapan dalam mata kuliah metode penelitian
dan menambah pengetahuan serta pengalaman dalam penelitian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar