KEJANG DEMAM
A.
Konsep Dasar
1.
Pengertian
Istilah kejang demam digunakan untuk
bangkitan kejang yg timbul akibat kenaikan suhu tubuh. “Kejang demam ialah
bangkitan kejang yg terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Hasan, 1995).
Banyak
pernyataan yang dikemukakan mengenai kejang demam, salah satu diantaranya
adalah : “Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya
terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak
pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang
pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk.
Kejang demam harus dapat dibedakan dengan epilepsi, yaitu ditandai dengan kejang
berulang tanpa demam (Mansjoer, 2000).
2.
Anatomi Fisiologi Sistem
Persarafan
Seperti yang dikemukakan Syaifuddin
(1997), bahwa system saraf terdiri dari system saraf pusat (sentral nervous
system) yang terdiri dari cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak)
serta medulla spinalis (sumsum tulang belakang), system saraf tepi (peripheral
nervous system) yang terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan
semua cabang dari medulla spinalis, system saraf gaib (autonomic nervous
system) yang terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan parasymphatis
(sistem saraf parasimpatis).
Otak berada di dalam rongga tengkorak
(cavum cranium) dan dibungkus oleh selaput otak yang disebut meningen yang
berfungsi untuk melindungi struktur saraf terutama terhadap resiko benturan
atau guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan
piamater.
Sistem saraf pusat (Central Nervous
System) terdiri dari :
a.
Cerebrum (otak besar)
Merupakan bagian terbesar yang
mengisi daerah anterior dan superior rongga tengkorak di mana cerebrum ini
mengisi cavum cranialis anterior dan cavum cranialis media.
Cerebrum terdiri dari dua lapisan
yaitu : Corteks cerebri dan medulla cerebri. Fungsi dari cerebrum ialah pusat
motorik, pusat bicara, pusat sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat
penglihatan / visual, pusat pengecap dan pembau serta pusat pemikiran.
Sebagian kecil substansia gressia
masuk ke dalam daerah substansia alba sehingga tidak berada di corteks cerebri
lagi tepi sudah berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer
cerebri inilah yang disebut sebagai ganglia basalis.
Yang termasuk pada ganglia basalis ini
adalah :
1)
Thalamus
Menerima semua impuls sensorik dari
seluruh tubuh, kecuali impuls pembau yang langsung sampai ke kortex cerebri.
Fungsi thalamus terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik.
Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa nyeri.
2)
Hypothalamus
Terletak di inferior thalamus, di
dasar ventrikel III hypothalamus terdiri dari beberapa nukleus yang masing-masing
mempunyai kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus merupakan daerah
penting untuk mengatur fungsi alat demam seperti mengatur metabolisme, alat
genital, tidur dan bangun, suhu tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan
sebagainya. Bila terjadi gangguan pada tubuh, maka akan terjadi
perubahan-perubahan. Seperti pada kasus kejang demam, hypothalamus berperan
penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang mengatur keseimbangan suhu
tubuh terganggu akibat adanya proses-proses patologik ekstrakranium.
3)
Formation Reticularis
Terletak di inferior dari
hypothalamus sampai daerah batang otak (superior dan pons varoli) ia berperan
untuk mempengaruhi aktifitas cortex cerebri di mana pada daerah formatio
reticularis ini terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan
dikirim ke cortex cerebri.
b.
Serebellum
Merupakan bagian terbesar dari otak
belakang yang menempati fossa cranial posterior. Terletak di superior dan
inferior dari cerebrum yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot
rangka.
System saraf tepi (nervus cranialis)
adalah saraf yang langsung keluar dari otak atau batang otak dan mensarafi
organ tertentu. Nervus cranialis ada 12 pasang :
1)
N. I : Nervus Olfaktorius
2)
N. II : Nervus Optikus
3)
N. III : Nervus Okulamotorius
4)
N. IV : Nervus Troklearis
5)
N. V : Nervus Trigeminus
6)
N. VI : Nervus Abducen
7)
N. VII : Nervus Fasialis
8)
N. VIII : Nervus Akustikus
9)
N. IX : Nervus Glossofaringeus
10)
N. X : Nervus Vagus
11)
N. XI : Nervus Accesorius
12)
N. XII : Nervus Hipoglosus.
System saraf otonom ini tergantung
dari system sistema saraf pusat dan system saraf otonom dihubungkan dengan
urat-urat saraf aferent dan efferent. Menurut fungsinya system saraf otonom ada
2 di mana keduanya mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system
simpatis dan parasimpatis.
Yang termasuk dalam system saraf
simpatis adalah :
1)
Pusat saraf di medulla
servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya
2)
Ganglion simpatis dan
serabut-serabutnya yang disebut trunkus symphatis
3)
Pleksus pre vertebral : Post
ganglionik yg dicabangkan dari ganglion kolateral.
System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :
Serabut saraf yang dicabagkan dari
medulla spinalis:
1.
Serabut saraf yang dicabangkan
dari otak atau batang otak
2.
Serabut saraf yang dicabangkan
dari medulla spinalis.
3.
Etiologi
Penyebab Febrile Convulsion hingga
kini belum diketahui dengan Pasti, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran
pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran
kemih. Kejang tidak selalu tinbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam
yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang (Mansjoer, 2000).
Kejang dapat terjadi pada setiap
orang yang mengalami hipoksemia (penurunan oksigen dalam darah) berat,
hipoglikemia, asodemia, alkalemia, dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi.
Kejang yang disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat reversibel apabila
stimulus pencetusnya dihilangkan (Corwin, 2001).
4.
Patofisiologi
Sel neuron dikelilingi oleh suatu
membran. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion lain,
kecuali ion clorida. Akibatnya konsentrasi natrium menurun sedangkan di luar
sel neuron terjadi keadaan sebaliknya.
Dengan perbedaan jenis konsentrasi
ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut
potensial membran dan ini dapat dirubah dengan adanya :
a.
Perubahan konsentrasi ion di
ruang ekstraseluler
b.
Rangsangan yang datangnya
mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya
c.
Perubahan patofisiologi dari
membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu
dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya
sehingga terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang
yang berbeda, tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Pada
anak dengan ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38° C, sedang pada ambang kejang tinggi baru terjadi pada suhu 40° C atau lebih.
5.
Tanda dan Gejala
Secara teoritis pada klien dengan
Kejang Demam didapatkan data-data antara lain klien kurang selera makan
(anoreksia), klien tampak gelisah, badan klien panas dan berkeringat, mukosa
bibir kering (Ngastiyah, 1997).
6.
Komplikasi
Pada penderita kejang demam yang
mengalami kejang lama biasanya terjadi hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan
kejang fokal yang terjadi. Mula – mula kelumpuhan bersifat flasid, tetapi
setelah 2 minggu timbul spastisitas.
Kejang demam yang berlangsung lama
dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsy.
a.
Pneumonia aspirasi
b.
Asfiksia
c.
Retardasi mental
7.
Penatalaksanaan /
Pengobatan
a.
Memberantas kejang secepat
mungkin
Bila penderita datang dalam keadaan
status convulsion, obat pilihan utama adalah diazepam secara intravena. Apabila
diazepam tidak tersedia dapat diberikan fenobarbital secara intramuskulus.
b.
Pengobatan Penunjang
Semua pakaian yang ketat dibuka.
Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung, usahakan
jalan nafas bebas agar oksigen terjamin, penghisapan lendir secara teratur dan
pengobatan ditambah dengan pemberian oksigen. Tanda – tanda vital diobservasi
secara ketat, cairan intravena diberikan dengan monitoring.
c.
Pengobatan di rumah
Setelah kejang diatasi harus disusul
dengan pengobatan rumah. Pengobatan ini dibagi atas 2 golongan yaitu :
1)
Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang di
kemudian hari diberikan obat campuran anti konvulsan dan anti piretik yang
harus diberikan pada anak bila menderita demam lagi
2)
Profilaksis jangka panjang
Gunanya untuk menjamin terdapatnya
dosis terapeutik yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah
terulangnya kejang di kemudian hari.
d.
Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik
sederhana maupun epilepsy yang diprovokasi oleh demam, biasanya infeksi traktus
respiratorius bagian atas dan otitis media akut.
B.
Asuhan Keperawatan
1.
Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan untuk
mengumpulkan data serta menganalisa data sehingga dapat diketahui masalah dan
kebutuhan perawatan klien (Gaffar, 1997). Dalam upaya pengumpulan data sebagai
langkah awal dari proses keperawatan penulis melakukan pengkajian, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kegiatan yang dilakukan dalam pengkajian adalah
pengumpulan data dan merumuskan prioritas masalah. Sedangkan tujuan dari
pengkajian keperawatan adalah mengumpulkan data–data, mengelompokkan dan
menganalisa data sehingga ditemukan diagnosa keperawatan (Gaffar, 1997).
Tahapan pengkajian merupakan dasar
utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu.
Oleh karena itu pengkajian yang akurat dan lengkap sesuai dengan kenyataan,
kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan
sesuai dengan respon individu sebagaimana yang ditentukan dalam standar praktek
keperawatan dari American Nursing Association.
Pengkajian keperawatan data dasar
yang komprehensif adalah kumpulan data yang berisikan mengenai status kesehatan
klien untuk mengelola kesehatan terhadap dirinya sendiri dan hasil konsultasi
dari medis (terapis) atau profesi
kesehatan lainnya (Taylor, Lilis Le Mone, 1997).
Berdasarkan sumber data, data
dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah
data yang diperoleh secara langsung dari klien, yaitu data tersebut diperoleh
dari klien yang sadar maupun klien tidak sadar sehingga tidak dapat
berkomunikasi misalnya data tentang kebersihan diri atau data tentang
kesadaran. Data sekunder adalah data yang diperoleh selain dari klien, seperti
dari perawat, dokter, catatan perawat, serta dari pemeriksaan seperti
pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan diagnostik lainnya, dari keluarga
atau dari kerabat dekat.
Secara umum ada beberapa cara
pengumpulan data dengan observasi, konsultasi, validasi data, anamnesa,
pemeriksaan fisik, observasi adalah pengumpulan data melalui hasil pengamatan
(melihat, meraba atau mendengarkan) tentang kondisi klien dalam kerangka asuhan
keperawatan.
Konsultasi adalah seorang spesialis
diminta untuk mengidentifikasikan cara–cara untuk pengobatan dan penanganan
penyakit klien.
Anamnesa atau wawancara adalah cara
pengumpulan data melalui inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Inspeksi adalah pengamatan secara
seksama terhadap status kesehatan klien, seperti inspeksi kesimetrisan
pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan, inspeksi adanya lesi
pada kulit dan sebagainya.
Perkusi adalah pemeriksaan fisik
dengan cara mengetukkan jari tengah kejari tengah yang lainnya untuk normal
atau tidaknya suatu organ tubuh.
Palpasi adalah jenis pemeriksaan
fisik dengan cara meraba klien seperti lokasi pada rongga abdomen untuk
mengetahui lokasi nyeri atau untuk mengetahui adanya massa .
Auskultasi adalah cara pemeriksaan
fisik dengan menggunakan stetoskop, misalnya auskultasi dinding abdomen untuk
mengetahui bising usus, mendengarkan suara paru – paru, bunyi jantung.
Adapun pengkajian untuk mengumpulkan
data–data yang akurat terhadap Kejang Demam yaitu dimulai dengan anamnesa
kepada klien dan
keluarga kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.
Hal – hal yang perlu dikaji antara lain :
a.
Identitas pasien dan keluarga
1)
Nama Pasien (initial), umur,
jenis kelamin,agama, suku bangsa dan alamat
2)
Nama Ayah (initial), umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan bangsa
3)
Nama Ibu (initial), umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan bangsa.
b.
Kesehatan fisik
1)
Pola nutrisi
Tidak ada nafsu makan (anoreksia),
mual dan bahkan dapat disertai muntah. Perlu dikaji pola nutrisi sebelum sakit,
porsi makan sehari – hari, jam makan, pemberian makan oleh siapa, frekuensi
makan, nafsu makan, serta alergi terhadap makanan.
2)
Pola eliminasi
3)
Pola tidur
Yang perlu dikaji meliputi jam tidur,
waktu tidur dan lamanya tidur serta kebiasaan sebelum tidur
4)
Pola hygiene tubuh
Mengkaji mengenai kebiasaan mandi,
cuci rambut, potong kuku dan rambut
5)
Pola aktifitas
Anak tampak lemah, gelisah atau cengeng.
c.
Riwayat kesehatan yang lalu
1)
Riwayat prenatal
Dikaji mengenai kehamilan ke berapa,
tempat pemeriksaan kehamilan, keluhan ibu saat hamil, kelainan kehamilan dan
obat – obatan yang diminum saat hamil.
2)
Riwayat kelahiran
Kelahiran spontan atau dengan bantuan
– bantuan, aterm atau premature. Perlu juga ditanyakan berat badan lahir,
panjang badan, ditolong oleh siapa dan melahirkan di mana.
3)
Riwayat yang berhubungan dengan
hospitalisasi
Pernahkah dirawat di rumah sakit,
berapa kali, sakit apa, pernahkah menderita penyakit yang gawat.
Riwayat kesehatan dalam keluarga perlu dikaji
kemungkinan ada keluarga yang pernah menderita kejang.
4)
Tumbuh kembang
Mengkaji mengenai pertumbuhan dan
perkembangan anak sesuai dengan tingkat usia, baik perkembangan emosi dan
sosial.
5)
Imunisasi
Yang perlu dikaji adalah jenis
imunisasi dan umur pemberiannya. Apakah imunisasi lengkap, jika belum apa
alasannya.
d.
Riwayat penyakit sekarang
1)
Awal serangan : Sejak timbul
demam, apakah kejang timbul setelah 24 jam pertama setelah demam
2)
Keluhan utama : Timbul kejang
(tonik, klonik, tonik klonik), suhu badan meningkat
3)
Pengobatan : Pada saat kejang
segera diberi obat anti konvulsan dan apabila pasien berada di rumah, tiindakan
apa yang dilakukan untuk mengatasi kejang.
4)
Riwayat sosial ekonomi keluarga
Pendapatan keluarga setiap bulan, hubungan sosial antara
anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya.
5)
Riwayat psikologis
Reaksi pasien terhadap penyakit, kecemasan pasien dan
orang tua sehubungan dengan penyakit dan hospitalisasi.
e.
Pemeriksaan fisik
1)
Pengukuran pertumbuhan : Berat
badan, tinggi badan, lingkar kepala
2)
Pengukuran fisiologis : Suhu
biasanya di atas 38° C, nadi
cepat, pernafasan (mungkin dyspnea nafas pendek, nafas cepat, sianosis)
3)
Keadaan umum : Pasien tampak
lemah, malaise
4)
Kulit : Turgor kulit dan
kebersihan kulit
5)
Kepala : Bagaimana kebersihan
kulit kepala dan warna rambut serta kebersihannya
6)
Mata : Konjungtiva, sklera
pucat / tidak, pupil dan palpebra
7)
Telinga : Kotor / tidak,
mungkin ditemukan adanya Otitis Media Akut / Kronis
8)
Hidung umumnya tidak ada
kelainan
9)
Mulut dan tenggorokan : Bisa
dijumpai adanya tonsillitis
10)
Dada : Simetris / tidak,
pergerakan dada
11)
Paru – paru : Bronchitis
kemungkinan ditemukan
12)
Jantung : Umumnya normal
13)
Abdomen : Mual – mual dan
muntah
14)
Genetalia dan anus : Ada kelainan / tidak
15)
Ekstremitas : Ada kelainan / tidak.
Setelah selesai mengumpulkan data
maka selanjutnya data tersebut dikelompokkan. Pengelompokan data dapat dibagi
atas data dasar dan data khusus (Carpenito, 1997). Data dasar terdiri dari data
fisiologis, data psikologis, data sosial dan spiritual. Sedangkan data khusus
adalah data yang bersifat khusus, misalnya pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
rontgen dan sebagainya.
2.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah
pernyataan yang menjelaskan status atau masalah kesehatan aktual atau rester /
resti (Gaffar, 1997). Pada tahap diagnosa keperawatan penulis akan menganalisa
data yang diperoleh dari hasil pengkajian dan mengidentifikasi masalah
keperawatan, baik yang dapat dicegah, dapat dikurangi maupun yang dapat
ditanggulangi dengan tindakan keperawatan.
Diagnosa keperawatan dibagi sesuai
dengan masalah kesehatan klien yaitu :
a.
Aktual, yaitu diagnosa
keperawatan yang menjelaskan masalah yang nyata saat ini dengan data klinis
yang ditemukan.
b.
Rester, yaitu diagnosa
keperawatan yang menjelaskan bahwa masalah kesehatan yang nyata yang akan
terjadi jika tidak dilakukan intervensi keperawatan, saat ini masalah belum ada
tetapi etiologi sudah ada.
c.
Possible, yaitu diagnosa
keperawatan yang timbul akibat adanya tambahan masalah
Komponen – komponen berikut ini
menandai tiga bagian pernyataan perubahan
keperawatan
a.
Diagnosa keperawatan, merupakan
pernyataan yang menggambarkan perubahan status kesehatan klien.
Perubahan–perubahan menyebabkan masalah dan perubahan yang tidak menguntungkan
pada kemampuan klien untuk berfungsi. Diagnosa keperawatan adalah frase atau
pernyataan yang ringkas, diagnosa keperawatan memberikan dasar untuk membuat
kriteria hasil asuhan keperawatan dan menentukan intervensi – intervensi yang
diperlukan untuk mencapai kriteria hasil.
b.
Etiologi, pernyataan etiologi
mencerminkan penyebab masalah klien yang menimbulkan perubahan–perubahan pada
status kesehatan klien. Penyebab tersebut dapat berhubungan dengan tingkah laku
klien, patofisiologi, psikososial, perubahan–perubahan situasional pada gaya hidup, usia
perkembangan, faktor budaya dan lingkungan. Diagnosa keperawatan dapat
diterapkan untuk semua area keperawatan, seperti medikal bedah, kesehatan ibu
dan anak, pediatrik, kesehatan komunitas.
Batasan karakteristik, merupakan
kelompok petunjuk klinis yang menggambarkan tingkah laku, tanda dan gejala yang
menggambarkan diagnosa keperawatan. Batasan karakteristik diperoleh selama
tahap pengkajian, memberikan bukti bahwa ada masalah kesehatan gejala (data
subjektif) adalah perubahan yang dirasakan oleh klien dan diekspresikan secara
verbal kepada perawat. Tanda (data objektif) adalah perubahan yang diamati pada
status kesehatan klien. Identifikasi minimal tiga tanda dan gejala sebagai
bukti yang cukup untuk mendukung pemilihan diagnosa keperawatan .
Adapun masalah keperawatan pada
klien dengan kasus Febrile Convulsion menurut Ngastiyah (19997) adalah :
a.
Resiko tinggi terhadap
kerusakan sel otak berhubungan dengan kejang
b.
Hipertermia berhubungan dengan
peningkatan metabolisme rata-rata, proses infeksi
c.
Resiko terjadi bahaya /
komplikasi berhubungan dengan aktifitas kejang
d.
Gangguan rasa aman dan nyaman
berhubungan dengan tindakan invasif, prosedur tindakan
e.
Kurang pengetahuan keluarga
berhubungan dengan kurangnya informasi.
Menurut Doenges (2000), diagnosa
keperawatan pada Febrile Convulsion adalah :
a.
Resiko terhadap henti nafas
berhubungan dengan perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot besar dan
kecil
b.
Ketidakefektifan pola
pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan neuromuskuler,
hypersekresi trakeobronkial
c.
Hipertermia berhubungan dengan
peningkatan metabolisme basal rata-rata, proses infeksi
d.
Kurang pengetahuan keluarga
mengenai kondisi, dan aturan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
Sedangkan
menurut Carpenito (1990), diagnosa keperawatan yang terdapat pada kasus Febrile
Convulsion adalah :
a.
Resiko tinggi tidak efektifnya
bersihan jalan nafas berhubungan dengan relaksasi lidah, sekunder terhadap
gangguan inversi otot
b.
Hipertermia berhubungan dengan
peningkatan metabolisme rata-rata, proses infeksi.
3.
Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap yang
paling penting yang dibuat setelah merumuskan diagnosa keperawatan. Tujuan
perencanaan adalah untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah
keperawatan klien, sehingga tercapai kondisi kesehatan klien yang optimal
(Gaffar, 1997).
Pada tahap perencanaan setelah
memprioritaskan masalah keperawatn, penulis menetapkan tujuan dan kriteria
tindakan yang dapat mencegah, mengurangi dan menanggulangi masalah kesehatan
yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan klien saat ini serta menuliskan
tujuan yang ditetapkan harus nyata, dapat diukur dan mempunyai batasan waktu
pencapaian.
Adapun komponen tahap perencanaan
adalah :
Membuat prioritas urutan diagnosa
keperawatan
Diagnosa keperawatan diurutkan dengan
prioritas tinggi, sedang, ringan masalah dengan prioritas tinggi mencerminkan
situasi yang mengancam hidup (misalnya bersihan jalan nafas). Masalah dengan
prioritas rendah tidak berhubungan secara langsung dengan keadaan sakit atau
prognosis yang spesifik (misalnya masalah keuangan). Masalah dengan prioritas
tingi membutuhkan perhatian yang cepat dibandingkan dengan prioritas rendah.
Hirarki kebutuhan Maslow (1968)
membantu perawat untuk memprioritaskan urutan diagnosa keperawatan, kerangka
hirarki ini termasuk kebutuhan fisiologis dan psikologis. Lima tingkatan hirarki ini adalah fisikologis,
keselamatan dan keamanan, mencintai dan memiliki, harga diri dan aktualisasi
diri.
Adapun rencana tindakan pada kasus Febrile
Convulsion menurut Doenges (2002), yaitu :
1.
Diagnosa keperawatan I
Resiko tinggi terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan
kesadaran, kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
Tujuan dan kriteria hasil :
Henti nafas dan trauma tidak terjadi dengan kriteria :
q
Menunjukkan efektifitas
pernafasan selama kejang dan sesudahnya
q
Tidak terdapat tanda injuri,
perlukaan di seluruh organ tubuh
Rencana Tindakan :
1.1
Gali bersama-sama keluarga
berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus kejang
Rasional : Mengetahui dan dapat menanggulangi sedini
mungkin komplikasi yang dapat terjadi
1.2
Pertahankan bantalan lunak pada
penghalang tempat tidur yang terpasang dengan posisi tempat tidur rendah
Rasional : mengurangi trauma saat kejang selama berada
di tempat tidur
1.3
Gunakan termometer dengan bahan
metal atau dapatkan suhu melalui lubang telinga jika perlu
Rasional : mengurangi resiko klien menggigit dan cedera mulut
1.4
Tinggallah bersama klien dan
keluarga dalam waktu beberapa lama / setelah kejang
Rasional : Meningkatkan rasa aman keluarga,
mengobservasi gejala lanjut
1.5
Masukkan jalan nafas buatan
yang terbuat dari plastik. Miringkan kepala ke salah satu sisi dan lakukan
suction pada jalan nafas sesuia indikasi
Rasional : Memfasilitasi ekspansi dada maksimal,
drainage sekret, dan memfasilitasi saat melakukan suction
1.6
Atur kepala, tempatkan di atas
daerah yang empuk (lunak) atau bantu meletakkan pada lantai jika keluar dari
tempat tidur
Rasional : Menurunkan resiko cedera
2.
Diagnosa keperawatan II
Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas
berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial
Tujuan dan kriteria hasil :
Pola nafas efektif yang ditunjukkan dengan frekuensi
nafas dalam batas normal, jalan nafas bersih
Rencana Tindakan :
2.1
Kosongkan mulut klien dari
benda / zat makanan
Rasional : menurunkan resiko aspirasi
2.2
Letakkan klien pada posisi
miring, permukaan datar, miringkan kepala, selama serangan kejang
Rasional : Meningkatkan aliran (drainage), sekret,
mencegah lidah jatuh, dan menyumbat jalan nafas
2.3 Tanggalkan pakaian pada daerah leher, dada, dan
abdomen
Rasional : Memfasilitasi usaha
bernafas dan ekspansi dada
2.4 Masukkan spatel lidah/jalan
nafas buatan atau golongan benda lunak sesuai dengan indikasi
Rasional : Mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi
saat melakukan suction
2.5
Melakukan pengisapan (suction)
sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan resiko aspirasi dan asfiksia
3.
Diagnosa keperawatan III
Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme
basal rata-rata, proses infeksi
Tujuan dan kriteria hasil :
Suhu tubuh dalam batas normal, yang ditunjukkan dengan
mendemontrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan, tidak
mengalami komplikasi yang berhubungan
Rencana Tindakan :
3.1
Pantau suhu tubuh
Rasional : Suhu 38,9-41,1 menunjukkan adanya proses
infeksius akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis
3.2
Pantau suhu lingkungan, batasi
/ tambahkan penggunaan seprai di tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan / jumlah selimut harus dirubah
untuk mempertahankan suhu mendekati normal
3.3
Berikan kompres hangat
Rasional : Membantu menurunkan demam dengan efek
vasodilatasi air hangat melalui proses evaporase
3.4
Kolaborasi : Berikan
antipiretik
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi
sentranya pada hipotalamus meskipun demam mungkin dapat berguna dalam membatasi
pertumbuhan organisme dan meningkatkan autodekstruksi sel-sel yang terinfeksi.
4
Diagnosa keperawatan IV
Kurang pengetahuan (kurang belajar) mengenai kondisi,
dan aturan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, kesalahan persepsi
Tujuan dan kriteria hasil :
Mengungkapkan pemahaman tentang gangguan berbagai
rangsang yang dapat menyebabkan aktifitas kejang, dengan kriteria :
Keluarga dapat mengemukakan kondisi dan pengobatan
secara sederhana.
Rencana Tindakan :
4.1
Jelaskan kembali mengenai
patofisiologi / prognosis penyakit
Rasional : Memberikan kesempatan mengklarifikasi
kesalahan persepsi dan keadaan penyakit yang ada sesuai dengan yang ditangani
4.2
Tinjau kembali obat-obat yang
didapat
Rasional : Tidak ada pemahaman terhadap obat-obatan yang
dapat merupakan penyebab kecemasan keluarga
4.
Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah intervensi yang
dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, penugasan
ketrampilan interpersonal, intelektual dan teknikal (Gaffar, 1997, 49).
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada
klien vulnus scissum untuk memenuhi antara lain : mencegah infeksi, meningkatkan
penyembuhan luka, meningkatkan kondisi kesehatan dan koping individu dan
keluarga serta mencegah komplikasi cedera selanjutnya.
Tahap pelaksanaan merupakan bentuk
tindakan untuk direncanakan sebelumnya dan disesuaikan dengan situasi secara
cermat dan efisien. Dalam melaksanakan tindakan keperawatan penulis
menyesuaikan dengan kondisi yang sesuai dengan kebutuhan klien saat itu, tidak
semata – mata berdasarkan prioritas masalah yang direncanakan sebelumnya serta
disesuaikan dengan waktu pelaksanaan tindakan. Dalam melaksanakan tindakan
keperawatan penulis juga melaksanakan tindakan observasi dan pengumpulan data
untuk melihat perkembangan klien selanjutnya.
Komponen tahapan dalam menyusun implementasi :
a.
Tindakan keperawatan mandiri
dilakukan tanpa perintah dokter, tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan
dengan standar praktik American Nursing
Association (1973), undang–undang praktik perawat negara bagian dan kebijakan
institusi perawat kesehatan.
b.
Tindakan keperawatan
kolaboratif, diimplementasikan bila perawat bekerja dengan anggota tim
perawatan kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang bertujuan
untuk mengatasi masalah – masalah
klien.
c.
Dokumentasi tindakan
keperawatan dan respons klien terhadap tindakan keperawatan, dokumentasi merupakan
pernyataan dari kejadian atau aktifitas yang otentik dengan mempertahankan catatan – catatan yang tertulis.
Dokumentasi merupakan wahana untuk komunikasi dari salah satu profesional ke
profesional lainnya tentang status klien. Dokumentasi klien memberikan bukti
tindakan keperawatan mandiri dan kolaboratif yang diimplementasikan oleh
perawat.
5.
Evaluasi
Merupakan fase akhir dari proses
keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang diberikan (Gaffar,
1997). Evaluasi asuhan keperawatan adalah tahap akhir proses keperawatan yang
bertujuan untuk menilai hasil akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang
dilakukan.
Hasil akhir yang diinginkan dari
perawatan pasien Kejang Demam meliputi
pola pernafasan kembali efektif, suhu tubuh kembali normal, anak menunjukkan
rasa nymannya secara verbal maupun non verbal, kebutuhan cairan terpenuhi
seimbang, tidak terjadi injury selama dan sesudah kejang dan pengatahuan orang
tua bertambah.
Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu
evaluasi yang dilakukan secara terus menerus untuk menilai hasil tindakan yang
dilakukan disebut juga evaluasi tujuan jangka pendek. Dapat pula bersifat
sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan
yang pencapaian tujuan jangka panjang.
Komponen tahapan evaluasi :
a.
Pencapaian kriteria hasil
Pencapaian dengan target tunggal
merupakan meteran untuk pengukuran. Bila kriteria hasil telah dicapai, kata “
Sudah Teratasi “ dan datanya ditulis di rencana asuhan keperawatan. Jika
kriteria hasil belum tercapai, perawat mengkaji kembali klien dan merevisi
rencana asuhan keperawatan.
b.
Keefektifan tahap – tahap
proses keperawatan
Faktor – faktor yang mempengaruhi
pencapaian kriteria hasil dapat terjadi di seluruh proses keperawatan.
1)
Kesenjangan informasi yang
terjadi dalam pengkajian tahap satu.
2)
Diagnosa keperawatan yang salah
diidentifikasi pada tahap dua
3)
Instruksi perawatan tidak
selaras dengan kriteria hasil pada tahap tiga
4)
Kegagalan mengimplementasikan
rencana asuhan keperawatan tahap empat.
5)
Kegagalan mengevaluasi kemajuan
klien pada tahap ke lima .
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer, dkk (2000),
Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta
Doenges, Marillyn E, dkk
(2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa
Keperawatan, EGC, Jakarta
Doenges, Marillyn E, et
all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta
Gaffar, La Ode Jumadi
(1997), Pengantar Keperawatan Profesional, EGC, Jakarta
Hasan, Dr. Rusepno (1995),
Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta
Ngastiyah
(1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Pusponegoro,
Titut S., dkk (2000) Perinatologi, EGC, Jakarta
Saifuddin
(1997), Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, EGC, Jakarta
Susan Martin, dkk (1998), Standar Perawatan Pasien, Proses Keperawatan, Diagnosa dan Evaluasi, Edisi 5, EGC, Jakarta
Sylvia A. Price, dkk
(1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar