Kamis, 10 November 2011

Askep KATARAK


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
                    Katarak merupakan penyebab kebutaan nomor satu di dunia. Indonesia memiliki angka penderita katarak tertinggi di Asia Tenggara. Dari sekitar 234 juta penduduk, 1,5 persen atau lebih dari tiga juta orang menderita katarak. Sebagian besar penderita katarak adalah lansia berusia 60 tahun ke atas. Lansia yang mengalami kebutaan karena katarak tidak bisa mandiri dan bergantung pada orang yang lebih muda untuk mengurus dirinya.
               Berdasarkan survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993-1996, menunjukkan angka kebutaan di Indonesia sebesar 1,5%, dengan penyebab utama adalah katarak (0,78%); glaukoma (0,20%); kelainan refraksi (0,14%); dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan lanjut usia (0,38%). 
                           Dibandingkan dengan negara-negara di regional Asia Tenggara, angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi (Bangladesh 1%, India 0,7%, Thailand 0,3%). Sedangkan insiden katarak 0,1% (210.000 orang/tahun), sedangkan operasi mata yang dapat dilakukan lebih kurang 80.000 orang/ tahun. Akibatnya timbul backlog (penumpukan penderita) katarak yang cukup tinggi. Penumpukan ini antara lain disebabkan oleh daya jangkau pelayanan operasi yang masih rendah, kurangnya pengetahuan masyarakat, tingginya biaya operasi, serta ketersediaan tenaga dan fasilitas pelayan kesehatan mata yang masih terbatas.

1.2    Tujuan Penulisan
1.2.1     Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui gambaran secara umum tentang asuhan keperawatan pada klien dengan katarak.
1.2.2    Tujuan Khusus
1.2.2.1    Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan katarak.
1.2.2.2  Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan katarak.
1.2.2.3 Mahasiswa mampu menyusun intervensi keperawatan pada klien    dengan katarak.
1.2.2.4    Mahasiswa mampu menerapkan implementasi keperawatan pada klien dengan katarak.
1.2.2.5    Mahasiswa mampu mengevaluasi implementasi keperawatan yang telah dilaksanakan pada klien dengan katarak.

1.3    Metode Penulisan
               Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan penjabaran masalah–masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur yang ada, baik di perpustakaan maupun di internet.

1.4    Sistematika Penulisan
   Makalah ini terdiri dari empat bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
1.4.1   BAB I  : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, tujuan  penulisan,   metode  penulisan, dan sistematika penulisan.
1.4.2  BAB II : Tinjauan Teoritis, terdiri dari pengertian, klasifikasi, anatomi dan fisiologi, etiologi, patofisiologi/pathway, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan.
1.4.3   BAB III  : Asuhan Keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi keperawatan.
1.4.4   BAB IV  :  Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran






BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1    Definisi
Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih. Biasanya terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat kelahiran (Brunner & Suddarth,2001).
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat kedua-duanya yang biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif (Mansjoer,2000).
Katarak adalah terjadinya opasitas secara progresif pada lensa atau kapsul lensa, umumnya akibat dari proses penuaan yang terjadi pada semua orang yang lebih dari 65 tahun (Doenges,2000).

2.2    Klasifikasi
     
Gambar 2.1   Klasifikasi Katarak

Katarak dapat diklasifikasikan  menjadi :
2.2.1        Katarak Kongenital
Katarak kongenital adalah kekeruhan pada lensa yang timbul pada saat pembentukan lensa. Kekeruhan sudah terdapat pada waktu bayi lahir. Katarak ini sering ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita rubella, diabetes mellitus, toksoplasmosis, hipoparatiroidisme, dan galaktosemia.

2.2.2        Katarak Senile.
Katarak senile ini adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia diatas 50 tahun (Ilyas, Sidarta: Ilmu Penyakit Mata, ed 3). Penyebabnya sampai sekarang tidak diketahui secara pasti. Katarak senile ini jenis katarak yang sering ditemukan dengan gejala pada umumnya berupa distorsi penglihatan yang semakin kabur pada stadium insipiens pembentukkan katarak, disertai penglihatan jauh makin kabur. Penglihatan dekat mungkin sedikit membaik, sehingga pasien dapat membaca lebih baik tanpa kaca mata (second sight).
2.2.3        Katarak Juvenile.
Kekeruhan lensa yang terjadi pada saat masih terjadi perkembangan serat-serat lensa sehingga biasanya konsistensinya lembek seperti bubur dan disebut sebagai soft carahast. Mulai terbentuknya pada usia kurang dari 9 tahun dan lebih dari 3 bulan. Katarak juvenil biasanya merupakan kelanjutan katarak kongenital.
2.2.4        Katarak Komplikata.
Katarak jenis ini terjadi sekunder atau sebagai komplikasi dari penyakit lain. Penyebab katarak jenis ini adalah gangguan okuler, penyakit sistemik dan trauma.

2.3    Anatomi dan Fisiologi
Gambar 2.2   Anatomi Lensa Mata
2.3.1    Anatomi Lensa
Lensa adalah struktur sirkuler, lunak dan bikonveks, avaskular, tidak berwarna dan hampir transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameter 9 mm, terletak di belakang iris, di depan badan vitreus. Titik pusat permukaan anterior dan posterior disebut polus anterior dan polus posterior, dan garis yang melewati kedua polus tersebut disebut aksis. Lensa tetap berada di tempatnya karena dari depan ditekan oleh akueos humor, dari belakang ditekan oleh vitreus humor dan digantung zonula atau ligamen suspensorium. Zonula adalah membran tipis yang menutupi permukaan dalam badan silier, prosessus siliaris dan lensa. Permukaan posterior lensa lebih cembung dibandingkan permukaan anterior dan lensa ini menempati fossa hialoidea badan vitreus.
Lensa terdiri atas 3 lapisan yaitu kapsul pada bagian luar, korteks dan nukleus pada bagian dalam. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamellar subepitel terus diproduksi sehingga lama kelamaan menjadi lebih besar dan kurang elastik. Nucleus dan korteks terbentuk dari lamella konsentris yang panjang dari serabut-serabut yang tepinya dihubungkan oleh bahan yang menyerupai perekat yang tertutup di dalam suatu kapsul tipis. Kapsul lensa adalah suatu membran yang semipermeabel yang akan memperbolehkan air dan elektrolit masuk. Kapsul ini merupakan membrane bening yang menutup lensa secara erat dan lebih tebal pada permukaan anterior.

2.3.2    Fisiologi Lensa
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi, menegangkan serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior lensa sampai ukurannya yang terkecil, daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas cahaya paralel atau terfokus ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa yang elastik kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh peningkatan daya biasnya. Kerjasama fisiologik tersebut antara korpus siliaris, zonula, dan lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi. Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan refraksi lensa perlahan-lahan berkurang. Selain itu juga terdapat fungsi refraksi, yang mana sebagai bagian optik bola mata untuk memfokuskan sinar ke bintik kuning, lensa menyumbang +18.0- Dioptri.

2.4    Etiologi
Beberapa pandangan teoritis oleh beberapa ahli tentang penjabaran penyebab terjadinya penyakit (etiologi) katarak :
2.4.1             Penyebab dari katarak adalah usia lanjut (senile) tapi dapat terjadi secara kongenital akibat infeksi virus dimasa pertumbuhan janin, genetik, dan gangguan perkembangan, kelainan sistemik, atau metabolik, seperti diabetes melitus, galaktosemi, atau distrofi mekanik, traumatik: terapi kortikosteroid, sistemik, rokok, dan konsumsi alkohol meningkatkan resiko katarak (Mansjoer,2000).
2.4.2             Penyebab utama katarak adalah penuaan. Anak dapat menerima katarak yang biasanya merupakan penyakit yang sedang diturunkan, peradangan dalam kehamilan. Faktor lain yaitu diabetes mellitus dan obat tertentu, sinar UV B dari cahaya matahari, efek racun, rokok, dan alkohol, gizi kurang vitamin E dan radang menahun didalam bola mata, serta adanya cidera mata (Ilyas,1997).
2.4.3             Katarak terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat kelahiran (katarak kongenital) dapat juga berhubungan dengan trauma mata tajam/tumpul, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, penyakit sistemis, seperti dibetes melitus atau hiperparatiroidisme, pemajanan radiasi, pemajanan sinar matahari (sinar ultraviolet) atau kelainan mata lain seperti uveitis anterior (Smeltzer,2002).



Trauma
 



2.5        Patofisiologi/Pathway



2.6    Manifestasi Klinis.
Biasanya gejala berupa keluhan penurunan tajam penglihatan secara progresif (seperti rabun jauh memburuk secara progresif). Penglihatan seakan-akan melihat asap dan pupil mata seakan akan bertambah putih. Pada akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benar-benar putih, sehingga refleks cahaya pada mata menjadi negatif (-).
Gejala umum gangguan katarak meliputi :
2.6.1              Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
2.6.2              Peka terhadap sinar atau cahaya.
2.6.3              Dapat melihat doubel pada satu mata.
2.6.4              Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
2.6.5              Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.

2.7    Komplikasi
2.7.1       Glaukoma
2.7.2       Infeksi pasca operasi
2.7.3       Perdarahan
2.7.4       Edema

2.8    Pemeriksaan Diagnostik

2.8.1             Kartu mata Snellen/mesin telebinokular (tes ketajaman penglihatan dan sentral penglihatan).
2.8.2             Lapang penglihatan: penurunan mungkin disebabkan CSV, massa tumor pada hipofisis/otak, karotis atau patologis arteri serebral atau glaukoma.
2.8.3             Pengukuran tonografi: mengkaji intraokuler (TIO) (normal 12-25mmHg).
2.8.4             Pengukuran gonioskopi: membantu membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glaukoma.
2.8.5             Tes provokatif: digunakan dalam menentukan adanya/tipe glaucoma bila TIO normal atau hanya meningkat ringan.
2.8.6             Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler, mencatat atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan retina, dan mikroaneurisme. Dilatasi dan pemeriksaan belahan-lampu memastikan diagnose katarak.
2.8.7             Darah lengkap, LED : menunjukkan anemia sistemik/infeksi.
2.8.8              Tes toleransi glukosa/FBS: menentukan adanya/kontrol diabetes.

2.9    Penatalaksanaan Medis.
Tidak ada terapi obat untuk katarak. Jenis pembedahan untuk katarak mencakup extracapsular cataract extractive (ECCE) dan intracapsular cataract extractive (ICCE).
2.9.1    Ekstracapsular Cataract Extractie (ECCE)
            Korteks dan Nukleus diangkat, kapsul posterior ditinggalkan untuk mencegah prolaps vitreus, untuk melindungi retina dari sinar ultraviolet dan memberikan sokongan untuk implantasi lensa okuler. ECCE paling sering dilakukan karena memungkinkan dimasukkannya lensa intraokuler ke dalam kapsul yang tersisa. Setelah pembedahan diperlukan koreksi visus lebih lanjut. Visus biasanya pulih dalam dalam 3 bulan setelah pembedahan. Teknik yang sering digunakan dalam ECCE  adalah fakoemulsifikasi, jaringan dihancurkan dan debris diangkat melalui penghisapan (suction).
2.9.2    Intracapsular Cataract Extractie (ICCE)
                           Pada pembedahan jenis ini lensa diangkat seluruhnya. Keuntungan dari prosedur adalah kemudahan proses ini dilakukan, sedangkan kerugiannya mata beresiko tinggi mengalami retinal detachment dan mengangkat struktur penyokong untuk penanaman lensa intraokuler. Salah satu teknik ICCE adalah menggunakan cryosurgery, lensa dibekukan dengan probe super dingin dan kemudian diangkat.






BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1    Pengkajian
3.1.1     Anamnesis
3.1.1.1     Umur
Katarak bisa terjadi pada semua umur tetapi pada umumnya pada usia lanjut.
3.1.1.2     Riwayat trauma
Trauma tembus ataupun tidak tembus dapat merusak kapsul mata.
3.1.1.3           Riwayat pekerjaan
Pada pekerjaan laboratorium atau yang berhubungan dengan bahan kimia atau terpapar radioaktif/sinar-X.
3.1.1.4           Riwayat penyakit/masalah kesehatan yang ada
Beberapa jenis katarak komplikata terjadi akibat penyakit mata yang lain dan penyakit sistemik.
3.1.1.5           Riwayat penggunaan obat-obatan.
3.1.2     Pemeriksaan Fisik
3.1.2.1     Klien mengeluhkan penurunan pandangan bertahap dan tidak nyeri.
3.1.2.2     Pandangan kabur, berkabut atau pandangan ganda.
3.1.2.3      Klien juga melaporkan melihat glare/halo di sekitar sinar lampu saat berkendaraan di malam hari, kesulitan dengan pandangan malam, kesulitan untuk membaca, sering memerlukan perubahan kacamata dan gangguan yang menyilaukan serta penurunan pandangan pada cuaca cerah. Klien juga memberikan keluhan bahwa warna menjadi kabur atau tampak kekuningan atau kecokelatan. Perlu peningkatan cahaya untuk membaca.
3.1.2.4           Jika klien mengalami kekeruhan sentral, klien mungkin melaporkan dapat melihat lebih baik pada cahaya suram daripada terang, karena katarak yang terjadi di tengah dan pada saat pupil dilatasi klien dapat melihat melalui daerah di sekitar kekeruhan.
3.1.2.5           Jika nucleus lensa terkena, kemampuan refraksi mata (kemampuan memfokuskan bayangan pada retina) meningkat. Kemampuan ini disebut second sight, yang memungkinkan klien membaca tanpa lensa.
3.1.2.6           Katarak hipermatur dapat membocorkan protein lensa ke bola mata, yang menyebabkan peningkatan. Tekanan intraokuler dan kemerahan pada mata
3.1.2.7           Kaji visus, terdapat penurunan signifikan.
3.1.2.8           Inspeksi dengan penlight menunjukkan pupil putih susu dan pada katarak lanjut terdapat area putih keabu-abuan di belakang pupil.

3.2    Diagnosa Keperawatan
3.2.1      Pre Operatif
Kecemasan b/d  kurang terpapar terhadap informasi tentang prosedur tindakan pembedahan.
         3.2.2     Pasca Operatif
3.2.2.1       Risiko tinggi terhadap cedera b/d peningkatan TIO, perdarahan intraokuler, kehilangan vitreous.
3.2.2.2       Risiko tinggi terhadap infeksi b/d prosedur invasif (bedah pengangkatan katarak).
3.2.2.3       Gangguan sensori-perseptual: penglihatan b/d gangguan penerima    sensori/status organ indera, lingkungan secara terapeutik dibatasi.
3.2.2.4       Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, pengobatan b/d tidak mengenal sumber informasi, salah interpretasi informasi, kurang terpajan/mengingat, keterbatasan kognitif.



3.3                   Intervensi Keperawatan

3.3.1       Intervensi Pre Operatif
No
Diagnosa Keperawatan
Tujuan/kriteria evaluasi:
Intervensi
Rasional
1.
Kecemasan b/d  kurang terpapar terhadap informasi tentang prosedur tindakan pembedahan.
1.     Pasien mengungkapkan dan mendiskusikan rasa cemas/takutnya.
2.      Pasien tampak rileks tidak tegang dan melaporkan kecemasannya berkurang sampai pada tingkat dapat diatasi.
3.      Pasien dapat mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang pembedahan
1.      Kaji tingkat kecemasan pasien dan catat adanya tanda- tanda verbal dan nonverbal.
2.      Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan takutnya.
3.      Observasi tanda vital dan peningkatan respon fisik pasien.
4.      Beri penjelasan pasien tentang prosedur tindakan operasi, harapan dan akibatnya.
5.      Beri penjelasan dan suport pada pasien pada setiap melakukan prosedur tindakan
6.      Lakukan orientasi dan perkenalan pasien terhadap ruangan, petugas, dan peralatan yang akan digunak
1.      Derajat kecemasan akan dipengaruhi bagaimana informasi tersebut diterima oleh individu.
2.      Mengungkapkan rasa takut secara terbuka dimana rasa takut dapat ditujukan.
3.      Mengetahui respon fisiologis yang ditimbulkan akibat kecemasan.
4.      Meningkatkan pengetahuan pasien dalam rangka mengurangi kecemasan dan kooperatif.
5.     Mengurangi kecemasan dan meningkatkan pengetahuan .
6.  Mengurangi perasaan takut dan cemas.

3.3.2          Intervensi Pasca Operatif
No
Diagnosa Keperawatan
Tujuan/kriteria evaluasi:
Intervensi
Rasional
1.

























2.
















3.


























4.
Risiko tinggi terhadap cedera b/d peningkatan TIO, perdarahan intraokuler, kehilangan vitreous.






















Risiko tinggi terhadap infeksi b/d prosedur invasif (bedah pengangkatan katarak).













Gangguan sensori-perseptual: penglihatan b/d gangguan penerima    sensori/status organ indera, lingkungan secara terapeutik dibatasi.























Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, pengobatan b/d tidak mengenal sumber informasi, salah interpretasi informasi, kurang terpajan/mengingat, keterbatasan kognitif.
1.      Menyatakan pemahaman faktor yang terlibat dalam kemungkinan cedera.
2.      Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan.






















1.         Meningkatkan penyembuhan luka tepat waktu, bebas drainase purulen, eritema dan demam
2.         Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan risiko infeksi.











1.      Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu.
2.      Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.
3.      Mengidentifikasi/ memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan.





















1.    Menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan pengobatan.
2.    Melakukan dengan prosedur benar dan menjelaskan alasan tindakan.















Mandiri:
1.         Diskusikan apa yang terjadi pada pascaoperasi tentang nyeri, pembatasan aktivitas, penampilan, balutan mata.
2.         Beri pasien posisi bersandar, kepala tinggi, atau miring ke sisi yang tak sakit sesuai keinginan.


3.         Batasi aktivitas seperti menggerakkan kepala tiba-tiba, menggaruk mata, membongkok.
4.         Ambulasi dengan bantuan; berikan kamar mandi khusus bila sembuh dengan anastesi.
5.         Anjurkan menggunakan teknik manajemen stres contoh, bimbingan imajinasi, visualisasi, nafas dalam, dan latihan relaksasi.
6.         Pertahankan perlindungan mata sesuai indikasi.
7.         Observasi pembekakan luka, bilik anterior kempis, pupil berbentuk buah pir.
Kolaborasi:
8.      Berikan obat sesuai indikasi:
Antiemetic, contoh proklorperazin (Compazine)

Asetazolamid

Mandiri:
1.      Diskusikan pentingnya mencuci tangan sebelum menyentuh/mengobati mata.
2.      Gunakan/tunjukkan teknik yang tepat untuk membersihkan mata dari dalam ke luar dengan tisu basah/bola kapas untuk tiap usapan, ganti balutan dan masukan lensa kontak bila menggunakan.
3.      Tekankan pentingnya tidak menyentuh/menggaruk mata yang dioperasi.
Kolaborasi:
4.      Berikan obat sesuai indikasi :
Antibiotic (topical, parenteral,atau subkonjungtival).


Steroid
Mandiri :
1.         Temukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata terlibat.


2.         Orientasikan pasien terhadap lingkungan, staf, orang lain di areanya.
3. Observasi tanda-tanda dan gajala-gejala disorientasi: pertahankan pagar tempat tidur sampai benar-benar sembuh dari anestesia.

4.   Pendekatan dari sisi yang tak dioperasi, bicara dan menyentuh sering; dorong orang terdekat tinggal dengan pasien.
5.    Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi mata, dimana dapat terjadi bila menggunakan tetes mata.




6.    Ingatkan pasien menggunakan kacamata katarak yang tujuannya memperbesar kurang lebih 25%, penglihatan perifer hilang, dan buta titik mungkin ada.
7.         Letakkan barang yang dibutuhkan/posisi bel pemanggil dalam jangkauan pada sisi yang tak dioperasi.



Mandiri :
1.         Kaji informasi tentang kondisi, prognosis, tipe prosedur/lensa.
2.         Tekankan pentingnya evaluasi perawatan rutin. Beritahu untuk melaporkan penglihatan berawan.





3.         Informasikan pasien untuk menghindari tetes mata yang dijual bebas.
4.         Diskusikan kemungkinan efek atau interaksi antara obat mata dan masalah medis pasien, contoh peningkatan hipertensi, PPOM, diabetes. Ajarkan metode yang tepat memasukkan obat tetes untuk meminimalkan efek sistemik.






5.         Anjurkan pasien menghindari membaca, berkedip: mengangkat berat, mengejan saat defekasi, membongkok pada panggul, meniup hidung; penggunaan sprei, bedak bubuk, merokok (sendiri/orang lain).
6.         Dorong aktivitas pengalih seperti mendengar radio, berbincang-bincang, menonton televisi.






7.         Anjurkan  pasien memeriksa ke dokter tentang aktivitas seksual.
8.         Tekankan kebutuhan untuk menggunakan kaca pelindung selama hari pembedahan/penutup pada malam.
9.         Anjurkan pasien tidur terlentang, mengatur intensitas lampu dan menggunakan kaca mata gelap bila keluar/dalam ruangan terang, keramas dengan kepala kebelakang (bukan kedepan), batuk dengan mulut/mata terbuka.
10.     Anjurkan mengatur posisi pintu sehingga mereka terbuka atau tertutup penuh: pindah kan perabot dari lalu lalang.


11.     Dorong pemasukan cairan adekuat, makan berserat atau kasar: gunakan pelunak feses yang dijual bebas bila diindikasikan.
12.     Identifikasi tanda/gejala memerlukan upaya evaluasi medis, contoh nyeri tajam tiba-tiba, penurunan penglihatan, kelopak bengkak, drainase purulen, kemerahan, mata berair, fotofobia.


1.      Membantu mengurangi rasa takut dan meningkatkan kerja sama dalam pembatasan yang diperlukan.
2.      Istirahat hanya beberapa menit sampai beberapa jam pada bedah rawat jalan atau menginap semalam bila terjadi komplikasi. Menurunkan tekanan pada mata yang sakit, meminimalkan risiko perdarahan atau stress pada jahitan/jahitan terbuka.
3.      Menurunkan stress pada area operasi/menurunkan TIO.

4.      Memerlukan sedikit regangan daripada penggunaan pispot, yang dapat meningkatkan TIO.
5.      Meningkatkan relaksasi dan koping, menurunkan TIO.

6.      Digunakan untuk melindungi dari cedera kecelakaan dan menurunkan gerakan mata.
7.      Menunjukkan prolaps iris atau rupture luka disebabkan oleh kerusakan jahitan atau tekanan mata.
8.       
Mual/muntah dapat meningkatkan TIO. Memerlukan tindakan segera untuk mencegah cedera okuler.
Diberikan untuk menurunkan TIO bila terjadi peningkatan. Membatasi kerja enzim pada produksi akueus humor

1.      Menurunkan jumlah bakteri pada tangan, mencegah kontaminasi area operasi.
2.      Teknik aseptik menurunkan risiko penyebaran bakteri dan kontaminasi silang.

3.      Mencegah kontaminasi dan kerusakan sisi operasi.

4.       
Sediaan topical digunakan secara profilaksis, dimana terapi lebih agresif diperlukan bila terjadi infeksi. Catatan: steroidmungkin ditambahkan pada antibiotic topical bila pasien mengalami implantasi IOL.
Digunakan untuk menurunkan inflamasi
1.      Kebutuhan individu dan pilihan intervensi bervariasi sebab kehilangan penglihatan terjadi lambat dan progresif. Bila bilateral, tiap mata dapat berlanjut pada laju yang berbeda, tetapi biasanya hanya satu mata diperbaiki per produser.
2.      Memberikan peningkatan kenyamanan dan kekeluargaan. Menurunkan cemas dan disorientasi pascaoperasi.
3.      Terbangun dalam lingkungan yang tak dikenal dan mengalami keterbatasan penglihatan dapat mengakibatkan bingung pada orangtua. Menurunkan risiko jatuh bila pasien bingung/tak kenal ukuran tempat tidur.
4.      Memberikan rangsang sensori tepat terhadap isolasi dan menurunkan bingung.

5. Gangguan penglihatan/iritasi dapat berakhir 1-2 jam setelah tetesan mata tetapi secara bertahap menurun dengan penggunaan. Catatan: Iritasi local harus dilaporkan ke dokter, tetapi jangan hentikan penggunaan obat sementara.
6.    Perubahan ketajaman dan kedalaman persepsi dapat menyebabkan bingung penglihatan/meningkatkan risiko cedera sampai pasien belajar untuk mengkompensasi.
7.    Memungkinkan pasien melihat objek lebih mudah dan memudahkan panggilan untuk pertolongan bila diperlikan.




1.         Meningkatkan pemahaman dan meningkatkan kerja sama dengan program pasca operasi.
2.         Pengawasan periodik menurunkan resiko komplikasi serius. Pada beberapa pasien kapsul posterior dapat menebal atau menjadi berkabut dalam dua minggu sampai beberapa tahun pasca operaasi, memerlukan terapi laser untuk memperbaiki defisit penglihatan.
3.         Dapat bereaksi silang/campur dengan obat yang diberikan.

4.         Penggunaan obat mata topikal, contoh agen simpatomimetik, penyekat beta, dan agen anti kolinergik dapat menyebabkan TD meningkat pada pasien hipertensi; pencetus dispnea pada pasien PPOM; gejala krisis hipoglikemik pada diabetes tergantung pada insulin. Tindakan benar dapat membatasi absorbsi dalam sirkulasi sistemik, meminimalkan masalah seperti interaksi obat dan efek sistemik tak diinginkan.
5.         Aktivitas yang menyebabkan mata lelah atau regang, manufer Valsalva, atau meningkatkan TIO dapat mempengaruhi hasil bedah dan mencetuskan pendarahan. Catatan: iritasi pernafasan yang menyebabkan batuk/bersin dapat meningkatkan TIO.
6.         Memberikan masukan sensori, mempertahankan rasa normalitas, melalui waktu lebih mudah bila tak mampu menggunakan penglihatan secara penuh. Catatan: menonton televisi frekuensi sedang menuntut sedikit gerakan mata dan sedikit menimbulkan stres dibanding membaca.
7.         Dapat meningkatkan TIO, menyebabkan cedera kecelakaan pada mata.
8.         Mecegah cedera kecelakaan pada mata dan menurunkan resiko peningkatan TIO sehubungan dengan berkedip atau posisi kepala.
9.         Mencegah cedera kecelakaan pada mata.






10.     Menurunkan penglihatan perifer atau gangguan kedalaman persepsi dapat menyebabkan pasien jalan ke dalam pintu yang terbuka sebagian atau menabrak perabot.
11.     Mempertahankan konsistensi feses untuk menghindari mengejan.


12.     Intervensi dini dapat mencegah terjadinya komplikasi serius, kemungkinan kehilangan penglihatan.





3.4       Implementasi Keperawatan
           Pelaksanaan tindakan keperawatan atau implementasi keperawatan terhadap pasien yang mengalami katarak disesuaikan dengan intervensi yang telah dirancang atau disusun sebelumnya.
3.5       Evaluasi Keperawatan
           Hasil Asuhan Keperawatan pada klien yang menderita katarak adalah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan pada intervensi. Evaluasi ini berdasarkan pada hasil yang di harapkan atau perubahan yang terjadi.


BAB IV
PENUTUP

4.1        Kesimpulan
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat kedua-duanya yang biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif (Mansjoer,2000).
 Katarak dapat diklasifikasikan  menjadi katarak kongenital, katarak senile, katarak juvenile dan katarak komplikata. Penyebab dari katarak adalah usia lanjut (senile) tapi dapat terjadi secara kongenital akibat infeksi virus dimasa pertumbuhan janin, genetik, dan gangguan perkembangan, kelainan sistemik, atau metabolik, seperti diabetes melitus, galaktosemi, atau distrofi mekanik, traumatik: terapi kortikosteroid, sistemik, rokok, dan konsumsi alkohol meningkatkan resiko katarak.
Gejala umum gangguan katarak meliputi penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek, peka terhadap sinar atau cahaya, dapat melihat doubel pada satu mata, memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca, lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
                        Komplikasi katarak adalah glaukoma, infeksi pasca operasi, perdarahan dan edema. Tidak ada terapi obat untuk katarak. Jenis pembedahan untuk katarak mencakup extracapsular cataract extractive (ECCE) dan intracapsular cataract extractive (ICCE).
4.2         Saran
Untuk menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan katarak sebaiknya perawat mengkaji masalah yang ada pada klien. Disamping itu, pengetahuan, sikap dan keterampilan perawat juga diperlukan untuk memberikan asuhan keperawatan sesuai rencana dan keadaan klien secara utuh, terencana dan sistematis.


DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta; EGC
Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta; Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI
Smeltzer,Suzanne. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 3. Jakarta; EGC
Istiqomah, Indriana. 2004. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata. Jakarta; EGC





2 komentar: