Kamis, 13 Januari 2011

TEMU LAWAK

Pendahuluan

Dengan adanya krisis moneter, masyarakat terdorong kembali menggunakan obat-obat tradisional yang boleh dikatakan bebas dari komponen impor. Salah satunya adalah rimpang temulawak yang telah dikenal oleh nenek moyang kita sejak jaman dahulu. Selama ini, telah banyak penelitian-penelitian yang dilakukan baik oleh ilmuwan Indonesia maupun ilmuawan asing untuk membuktikan khasiat temulawak, tetapi karena belum adanya sistem pendokumentasiaan yang terpadu, maka belum semua hasil-hasil penelitian tersebut dapat diakses oleh masyarakat umum. Berikut ini kami sajikan rangkuman publikasi tentang khasiat temulawak dari tahun 1980-1997 yang bersumber dari karya ilmiah asing dan karya ilmiah Indonesia koleksi PDII-LIPI. Tentunya masih ada karya ilmiah Indonesia yang belum tercakup dalam tulisan ini, termasuk penelitian skripsi dari perguruan tinggi yang memang tidak tersedia dalam koleksi PDII-LIPI. Namun demikian, kami berharap tinjauan literatur ini dapat membantu ilmuwan dalam mengikuti perkembangan Iptek mutakhir.

Untuk mengetahui khasiat temulawak, telah dilakukan beberapa cara pengujian, baik secara in vitro, pengujian terhadap binatang dan uji klinis terhadap manusia. Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, yang paling banyak adalah uji terhadap binatang percobaan, sedangkan uji terhadap manusia masih tergolong jarang.

Efek analgesik

Yamazaki (1987, 1988a) melaporkan bahwa ekstrak metanol temulawak yang diberikan secara oral pada tikus percobaan, dinyatakan dapat menekan rasa sakit yang diakibatkan oleh pemberian asam asetat. Selanjutnya, Yamazaki (1988b) dan Ozaki (1990) membuktikan bahwa germakron adalah zat aktif dalam temulawak yang berfungsi menekan rasa sakit tersebut.

Efek anthelmintik

Pemberian infus temulawak, temu hitam dan kombinasi dari keduanya dalam urea molasses block dapat menurunkan jumlah telur per gram tinja pada domba yang diinfeksi cacing Haemonchus contortus (Bendryman dkk. 1996).

Efek antibakteri/antijamur

Dilaporkan bahwa ekstrak eter temulawak secara in vitro dapat menghambat pertumbuhan jamur Microsporum gypseum, Microsporum canis, dan Trichophytol violaceum (Oehadian dkk. 1985). Minyak atsiri Curcuma xanthorrhiza juga menghambat pertumbuhan jamur Candida albicans, sementara kurkuminoid Curcuma xanthorrhiza mempunyai daya hambat yang lemah (Oei 1986a).

Efek antidiabetik

Penelitian Yasni dkk. (1991) melaporkan bahwa temulawak dapat memperbaiki gejala diabetes pada tikus, seperti : growth retardation, hyperphagia, polydipsia, tingginya glukose dan trigliserida dalam serum, dan mengurangi terbentuknya linoleat dari arakhidonat dalam fosfolipid hati. Temulawak khusus-nya merubah jumlah dan komposisi fecal bile acids.

Efek antihepatotoksik

Pemberian seduhan rimpang temulawak sebesar 400, 800 mg/kg selama 6 hari serta 200, 400 dan 800 mg/kg pada mencit selama 14 hari, mampu menurunkan aktivitas GPT-serum dosis hepatotoksik parasetamol maupun mempersempit luas daerah nekrosis parasetamol secara nyata. Daya antihepatotoksik tergantung pada besarnya dosis maupun jangka waktu pemberiannya (Donatus dan Suzana 1987).

Efek antiinflamasi

Oei (1986b) melaporkan bahwa minyak atsiri dari Curcuma xanthorrhiza secara in vitro memiliki daya antiinflamasi yang lemah. Sementara Ozaki (1990) melaporkan bahwa efek antiinflamasi tersebut disebabkan oleh adanya germakron. Selanjutnya, Claeson dkk. (1993) berhasil mengisolasi tiga jenis senyawa non fenolik diarylheptanoid dari ekstrak rimpang temulawak, yaitu : trans-trans-1,7-difenil-1,3,-heptadien-4-on (alnuston); trans1,7-difenil-1-hepten-5-ol, dan trans,trans-1,7-difenil-1,3,-heptadien-5-ol. Ketiga senyawa tersebut dinyatakan mempunyai efek antiinflamasi yang nyata terhadap tikus percobaan.

Efek antioksidan

Jitoe dkk. (1992) mengukur efek antioksidan dari sembilan jenis rimpang temu-temuan dengan metode Thiosianat dan metode Thiobarbituric Acid (TBA) dalam sistem air-alkohol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak temulawak ternyata lebih besar dibandingkan dengan aktivitas tiga jenis kurkuminoid yang diperkirakan terdapat dalam temulawak. Jadi, diduga ada zat lain selain ketiga kurkuminoid tersebut yang mempunyai efek antioksidan. Selanjutnya, Masuda dkk. (1992) berhasil mengisolasi analog kurkumin baru dari rimpang temulawak, yaitu: 1-(4-hidroksi-3,5-dimetoksifenil)-7-(4 hidroksi-3-metoksifenil)-(1E. 6E.)-1,6-heptadien-3,4-dion. Senyawa tersebut ternyata menun-jukkan efek antioksidan melawan oto-oksidasi asam linoleat dalam sistem air-alkohol.

Efek antitumor

Itokawa dkk.(1985) berhasil mengisolasi empat senyawa sesquiterpenoid bisabolan dari rimpang temulawak, yaitu � -kurkumen, ar-turmeron, � -atlanton dan xanthorrizol. Sebagian besar dari zat tersebut merupakan senyawa antitumor melawan sarcoma 180 ascites pada tikus percobaan. Efektivitas antitumor dari senyawa tersebut adalah: (+++) untuk � -kurkumen, (++) untuk ar-turmeron, dan (++) untuk xanthorrizol. Sementara itu, Yasni (1993b) melaporkan bahwa pemberian temulawak dapat mengaktifkan sel T dan sel B yang berfungsi sebagai media dalam sistem kekebalan pada tikus percobaan.

Ahn dkk. (1995) melaporkan bahwa ar-turmeron yang terkandung dalam temulawak dapat mem perpanjang hidup tikus yang terinfeksi dengan sel kanker S-180. Komponen tersebut menunjukkan aktifitas sitotoksik yang sinergis dengan sesquifelandren yang diisolasi dari tanaman yang sama sebesar 10 kali lipat terhadap sel L1210. Disamping itu, kurkumin bersifat memperkuat obat-obat sitotoksik lainnya seperti siklofosfamida, MeCCNU, aurapten, adriamisin, dan vinkristin.

Efek penekan syaraf pusat

Penelitian Yamazaki dkk. (1987, 1988a) menyatakan bahwa ekstrak rimpang temu lawak ternyata mempunyai efek memperpanjang masa tidur yang diakibatkan oleh pento barbital. Selanjutnya dibuktikan bahwa (R )-(-)-xantorizol adalah zat aktif yang menyebab-kan efek tersebut dengan cara menghambat aktifitas sitokrom P 450. Selain xantorizol, ternyata germakron yang terkandung dalam ekstrak temulawak juga mempunyai efek mem perpanjang masa tidur (Yamazaki 1988b). Pemberian germakron 200 mg/kg secara oral pada tikus percobaan dinyatakan dapat menekan hiperaktifitas yang disebabkan oleh metamfe-tamin (3 mg /kg i.p). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pemberian 750 mg/kg germakron secara oral pada tikus percobaan tidak menunjukkan adanya toksisitas letal (Yamazaki 1988b).

Efek diuretika

Penelitian Wahjoedi (1985) menyatakan bahwa rebusan temulawak pada dosis ekuivalen 1x dan 10x dosis lazim orang pada tikus putih mempunyai efek diuretik kurang lebih setengah dari potensi HCT (Hidroklorotiazid) 1,6 mg/kg.

Efek hipolipidemik

Penggunaan temulawak sebagai minuman pada ternak kelinci betina menunjukkan bahwa tidak terdapat lemak tubuh pada karkas dan jaringan lemak di sekitar organ reproduksi (Soenaryo 1985). Adapun penelitian Yasni dkk. (1993a) melaporkan bahwa temulawak menurunkan konsentrasi triglise rida dan fosfolipid serum, kolesterol hati, dan meningkatkan kolesterol HDL serum dan apolipoprotein A-1, pada tikus yang diberi diet bebas koles-terol. Adapun pada tikus dengan diet tinggi kolesterol, temulawak tidak menekan tingginya kolesterol serum walaupun menurunkan kolesterol hati. Dalam penelitian tersebut dilaporkan bahwa kurkuminoid yang berasal dari temulawak ternyata tidak mempunyai efek yang nyata terhadap lemak serum dan lemak hati, maka disimpulkan bahwa temulawak mengandung zat aktif selain kurkuminoid yang dapat merubah metabolisme lemak dan lipoprotein. Selanjutnya Yasni dkk. (1994) membuktikan bahwa � -kurkumen adalah salah satu zat aktif yang mempunyai efek menurunkan trigliserida pada tikus percobaan dengan cara menekan sintesis asam lemak.

Sementara itu, Suksamrarn dkk. (1994) melaporkan bahwa dua senyawa fenolik diarilheptanoid yang diisolasi dari rimpang temulawak, yaitu : 5-hidroksi-7-(4-hidroksifenil)-1-fenil-(1E)-1-hepten dan 7-(3, 4-dihidroksifenil)-5-hidroksi-1-fenil-(1E)-1-hepten, secara nyata menunjukkan efek hipolipidemik dengan cara menghambat sekresi trigliserida hati pada tikus percobaan.

Uji coba kemanjuran temulawak dilakukan oleh Santosa dkk. (1995). terhadap 33 orang pasien penderita hepatitis khronis. Selama 12 minggu, setiap pasien menerima 3 kali sehari satu kapsul yang mengandung kurkumin dan minyak menguap. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa data serologi (GOT, GPT, GGT, AP) dari 68-77% pasien menunjukkan tendensi penurunan ke nilai normal dan bilirubin serum total dari 48% pasien juga menurun. Keluhan nausea/vomitus yang diderita pasien dilaporkan menghilang. Gejala pada saluran pencernakan dirasakan hilang oleh 43% pasien sedangkan sisanya masih mera sakan gejala tersebut, termasuk 70% pasien yang merasakan kehilangan nafsu makannya.

Efek hipotermik

Pemberian infus temulawak menunjukkan penurunan suhu pada tubuh mencit perco baan (Pudji astuti 1988). Penelitian Yamazaki dkk. (1987, 1988a) menunjukkan bahwa ekstrak metanol rimpang temulawak mempunyai efek penurunan suhu pada rektal tikus percobaan. Selanjutnya dibuktikan bahwa germakron diidentifikasi sebagai zat aktif dalam rimpang temulawak yang menyebabkan efek hipotermik tersebut (Yamazaki 1988b).

Efek insektisida

Pandji dkk. (1993) meneliti efek insektisida empat jenis rimpang dari spesies Zingiberaceae yaitu: Curcuma xanthorrhiza, C. zedoaria, Kaempferia galanga dan K. pandurata. Tujuh belas komponen terbesar termasuk flavonoid, sesquiterpenoid, dan derivat asam sinamat berhasil diisolasi dan didentifikasi menggunakan NMR dan Mass spektra. Semua komponen diuji toksisitasnya terhadap larva Spodoptera littoralis. Secara contact residue bioassay, nampak bahwa xantorizol dan furanodienon merupakan senyawa sesquiterpenoid yang paling aktif menunjukkan toksisitas melawan larva yang baru lahir, tetapi efek toksisitas tersebut tidak nyata jika diberikan bersama makanan. Selanjutnya dilaporkan bahwa ekstrak Curcuma xanthorrhiza mempunyai efek larvasida terhadap larva nyamuk Aedes aegypti instar III (Wibowo dkk. 1995).

Efek lain-lain

Hasil wawancara dengan 100 orang responden wanita petani menunjukkan bahwa penggunaan temulawak dapat memperbaiki kerja sistem hormonal yang mengontrol metabolisme khususnya karbo hidrat dan asam susu, memperbaiki fisiologi organ tubuh, dan meningkatkan kesuburan (Soenaryo 1985).

Komponen yang terkandung dalam temulawak dinyatakan mempunyai sifat koleretik (Oei 1986a; Siegers et al 1997). Temulawak dilaporkan mempunyai efek mengurangi pengeluaran tinja pada tikus percobaan (Wahyoedi 1980). Ekstrak temulawak tidak menunjukkan efek toksik. Untuk mematikan Libistes reticulatus diperlukan ekstrak Curcuma xanthorrhiza dengan dosis besar (Rahayu dkk. 1992).

Pemberian infus temulawak dinyatakan dapat meningkatkan kontraksi uterus tikus putih (Damayanti dkk. 1995), dapat meningkatkan tonus kontraksi otot polos trachea marmut (Damayanti dkk. 1996), dapat meningkatkan frekuensi kontraksi jantung kura-kura (Damayanti dkk. 1997), dan dapat meningkatkan absorbsi glukosa pada usus halus tikus (Halimah dkk. 1997)

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan khasiat kurkumin yaitu salah satu zat aktif yang terkandung dalam temulawak, tetapi pembahasannya akan kami sajikan pada kesempatan lain.

Paten

Prestasi Oei Ban Liang dari Indonesia bersama dengan PT Daria Varia Laboratoria perlu kita banggakan. Mereka telah berhasil mempatenkan bahan anti-inflamasi berisi kombinasi zat aktif yang berhasil diisolasi dari Curcuma sp. di Eropa dengan No.: 440885. Sementara itu, di Jepang, Yamazaki dkk. telah mempatenkan germakron yaitu zat aktif yang terkandung dalam temulawak, sebagai penekan sistem syaraf pusat di Jepang dengan nomor: 89139527. Sediaan tersebut berupa granul yang mengandung germakron dan manitol dengan bahan pengikat hidroksipropilselulose 10% dalam etanol.

Pada tahun 1995, Imaisumi dari Suntory Ltd. Jepang telah mempatenkan makanan yang mengandung � -kurkumen yaitu zat aktif yang berasal dari rimpang temulawak dengan nomor paten 07 20, 149, 628. Dinyatakan bahwa makanan tersebut dapat meningkatkan metabolisme lemak, dan secara in vivo dapat menurunkan trigliserida pada hati dan serum tikus. Adapun Tanaka dkk. dari perusahaan Shiseido di Jepang, baru-baru ini yaitu tahun 1997, berhasil mempatenkan kosmetik untuk kulit dengan nomor 09 20, 635. Kosmetik yang mengandung ekstrak temulawak tersebut dinyatakan efektif sebagai pembentuk melanin atau penghambat tirosinase.

Penutup

Dari tulisan tersebut di atas dapat diketahui bahwa temulawak mempunyai berbagai macam khasiat, yaitu sebagai: analgesik, anthelmintik, antibakteri, antijamur, antidiabetik, antidiare, antiinflamasi, anti-hepatotoksik, antioksidan, antitumor, depresan, diuretik, hipotermik, hipolipidemik, insektisida, dan lain-lain. Khasiat temulawak tersebut telah dibuktikan melalui teknik ilmu pengetahuan modern baik oleh ilmuwan dalam dan luar negeri. Mudah-mudahan dengan adanya tulisan semacam ini ilmuwan kita lebih terpacu untuk mengembangkan obat-obat tradisional, sehingga tidak ketinggalan dibandingkan dengan ilmuwan asing. Untuk informasi lebih lanjut atau pemesanan artikel lengkapnya, silahkan menghubungi PDII-LIPI.

Daftar pustaka

Ahn, Byung-zun; Lee, Yong-Hyung; Oh, Won-Kenn; Baik, Kyung-up; Yung, Sang-Hun. 1995. Ar-turmerone and its analogues: synthesis and anti tumor activity. In: International Symposium on Curcumin Pharmacochemistry, 1995 August 29-31; Yogyakarta. Abstrak.

Bendryman, Sri Subekti; Wahyuni, Retno Sri; Puspitawati, Halimah. 1996. Khasiat rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan temu hitam (Curcuma aeruginosa) dalam urea molasses block (UMB) sebagai obat cacing (anthelmintika) dan pemacu pertumbuhan (feed additive) pada domba. Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Airlangga.

Claeson, P.; Panthong, A; Tuchinda, P; Reutrakul, V; Kanjanapothi, D; Taylor, W.C.; Santisuk,T. 1993. Three Non Phenolic Diarylheptanoids with anti-inflammatory activity from Curcuma xanthorrhiza. Planta Medica, 59(5): 451-454.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar