PORNOGRAFI, INTERNET DAN RUU IETE
Oleh: M. Sofyan Pulungan
Wacana “menggugat pornografi” kembali menguat dalam perbedatan publik akhir-akhir ini. Berbagai elemen swadaya masyarakat, bahkan telah membentuk koalisi bersama untuk menolak berjamurnya pornografi diberbagai bentuk media, termasuk di Internet. Begitu pula komitmen bersama yang dibuat MUI, DPR dan Polri, semua institusi ini telah sepakat untuk menertibkan pornografi yang merajela pada era “reformasi”. Bahkan, sebuah RUU Pornografi siap ditawarkan sebagai sebuah solusi policy untuk meredam maraknya bisnis yang selalu berurusan dengan bagian tubuh yang paling sensitif ini. Sejauhmanakah RUU Pornografi akan mampu meredam pornografi khususnya di Internet, bila sistem hukum nasional belum mengakui dengan tegas keabsahan alat bukti dalam bentuk elektonik di pengadilan kita? dan bagaimana Rancangan Undang-undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU-IETE) menyikapi pornografi di Internet?
Pornografi dan Delik Pornografi
Sebelum melangkah lebih jauh, penulis mencoba memberikan beberapa pengertian dasar dari pornografi. Pornografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Porné yang artinya pelacur dan graphein artinya menulis. Beberapa tokoh telah memberikan pendefenisian apa yang dimaksud dengan Pornogafi. Pendefenisian ini tentunya terus berkembang seiring dengan perkembangan dinamika dan nilai yang ada ditengah-tengah masyarakat. Pada masa sekarang, pendefenisian dari pornografi bukan lagi hanya mengacu pada tindakan atau perbuatan seseorang, namun sudah menjadi semacam ideologi yang hidup subur ditengah-tengah masyarakat modern; dengan simbol utama perjuangan; pelecehkan sexualitas perempuan.
Pendapat ini dapat kita lihat dari beberapa argumen yang dilontarkan beberapa tokoh diantaranya; Laura Lederer yang mengungkapkan, “Pornography is the ideology of a culture which promotes and condones rape, woman-battering, and other crimes of violence against women.” Begitu juga dengan Susan Brownmiller yang memberi defenisi ponografi, “Pornography promotes a climate of opinion in which sexual hostility against women is not only tolerated, but ideologically encouraged. The intent is to deny the humanity of women, so that acts of aggression are viewed less seriously, and to encourage aggression.” Catharine MacKinnon seorang feminis dan professor hukum dari University of Michigan: memberikan definisi yang singkat, namun sangat lugas sekali “Pornography has a central role in institutionalizing a subhuman, victimized, second-class status for women.”
Di Indonesia sendiri, sampai saat ini tidak ada rumusan baku tentang defenisi pornografi. Namun, demikian bukan berarti sistem hukum nasional tidak mengenal delik pornografi. Delik pornografi digolongkan sebagai tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid), yaitu yang khusus berkaitan dengan seksualitas. Menurut Wirjono Prodjodikoro, rumusan pasal-pasal dalam KUHP tidak menyebut kata “pornografi” secara langsung (letterlijk). Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, para ahli ilmu hukum menggunakan istilah delik pornografi ini untuk membedakannya dengan kejahatan dan/atau pelanggaran kesopanan yang lain. Wirjono menyebut kejahatan dan pelanggaran ini sebagai “Tindak Pidana mengenai Pornografi”.
Ketidakjelasan defenisi pornografi dalam sistem hukum nasional, membawa dua dampak sekaligus yaitu; kerugian dan juga keuntungan. Kerugian ini terjadi, karena selama ini KUHP telah “menyerahkan” tafsir pelanggaran kesusilaan kepada majelis hakim. Penyerahkan penafsiran pornografi pada hakim di satu sisi dapat menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Hal ini dibuktikan, dalam sebuah penelitian Abdul Qodir tentang pornografi bahwa yurisprudensi yang ada telah menunjukkan bahwa pertimbangan dari putusan-putusan hakim atas kasus-kasus delik pornografi tidak memberikan suatu gambaran tentang pemahaman hakim-hakim Indonesia mengenai masalah pornografi. Sedangkan nilai keuntungan yang dapat diperoleh bahwa KUHP telah memberikan ruang pada perubahan zaman dalam menafsirkan sebuah informasi dapat dikatakan pornografi atau tidak lagi.
Sebagai contoh dapat kita lihat delik mempertontonkan alat pencegah kehamilan. Dahulu, sewaktu KUHP dibuat tindakan mempertontonkan alat pencegah kehamilan merupakan tindakan pelanggaran terhadap kesusilaan. Karena itulah perbuatan ini diatur dalam pasal 283 KUHP. Namun, sekarang nilai ini berubah menjadi tindakan yang malah dianjurkan melalui berbagai program pemerintah diantaranya; keluarga berencana dan sekarang pencegahan penyakit AIDS. Perkembangan defenisi dari pornografi dan praktek dalam sistem hukum pidana nasional tentang delik pornografi telah memperlihatkan bahwa pornografi tidak bisa kita lepaskan dari nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan cara pandang masyarakat terhadap nilai-nilai tersebut.
Internet Media Pornografi?
Perkembangan teknologi yang saat ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia adalah teknologi informasi yang salah satu wujudnya adalah Internet. Internet yang pada mulanya hanya dikembangkan untuk kepentingan militer, riset dan pendidikan terus berkembang memasuki seluruh aspek kehidupan umat manusia, tak tertinggal tentunya aktivitas bisnis.
Saat ini, internet telah membentuk masyarakat dengan kebudayaan baru. Masyarakat yang tak lagi dihalangi oleh batas-batas teritorial antara negara yang dahulu ditetapkan sangat rigid sekali. Masyarakat baru dengan kebebasan beraktivitas dan berkreasi yang paling sempurna. Namun dibalik kegemerlapan itu, internet juga melahirkan keresahan-keresahan baru. Diantaranya muncul kejahatan yang lebih canggih dalam bentuk “cyber crime”. Hal ini ditandai dengan berkembangan pesatnya situs-situs porno dalam berbagai tampilan situs yang sangat menggoda.
Menjadi pertanyaan, mengapa dalam perkembangannya sekarang Internet menjadi alat yang paling efektif dalam menyebarkan pornografi? Bila kita cermati, Internet sendiri pada dasarnya hanya sebuah media komunikasi sebagaimana media-media komunikasi dalam bentuk lainnya. Namun, internet memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan media komunikasi lain, seperti media cetak, penyiaran, film atau telekomunikasi. Internet mempunyai kemampuan dalam mengkonvergensikan keempat media di atas dalam sebuah media yang disebut global network. Keistimewaanya dalam mengkonvergensikan berbagai media di atas, telah menjadikan internet sebagai media komunikasi yang paling sempurna saat ini. Karena keunggulannya itu, tak mengerankan bila internet menjadi alat yang paling efektif dalam menyebarkan berbagai informasi; termasuk informasi tentang pornografi. Bahkan, berbagai data terakhir menunjukkan bahwa transaksi terbesar perdagangan melalui internet diperoleh dari bisnis pornografi ini.
Fenomena di atas, tentunya disikapi oleh setiap pemerintahan dengan policy yang berbeda-beda. Namun, pada umumnya policy yang dibuat akan sangat tergantung dari tingkat adopsi demokrasi di negara-negara tersebut. Sebagai contoh; negara yang tingkat demokrasinya rendah akan mengambil kebijakan yang cenderung otoriter; yaitu memberikan peran negara untuk melakukan sensor (pembatasan informasi) di Internet. Praktek ini dapat kita lihat di Arab Saudi dan di RCC. Hal ini dilakukan dengan membuat server negara atau pembatasan informasi melalui Internet Service Provider. Di Negara-negara yang menganut sistem demokrasi, “sensor” di Internet juga diberlakukan. Namun, satu hal yang menarik “sensor” di Internet bukan dimulai dari pemerintah, melainkan partisipasi masyarakat dalam membuat Internet sebagai media yang sehat. Tindakankan dilakukan dengan meluncurkan beberapa software yang mampu memfilter informasi yang berkaitan dengan pornografi. Bahkan di Amerika Serikat, pengaturan tentang ponografi anak di Internet lahir akibat desakan masyarakat terhadap pornografi anak yang merajarela di Internet.
RUU Pornografi atau RUU IETE?
RUU Pornografi menjadi sebuah policy yang ditawarkan dalam mencoba membendung pornografi yang sangat marak akhir-akhir. Apalagi kehadiran internet telah membuat penyebaran pornografi menjadi tanpa batas. Sebagai sebuah gagasan, RUU Pornografi tentu sah-sah saja, namun bila pembentukannya telah menjadi sebuah keputusan, maka ada beberapa hal yang harus kita perdebatkan lagi, terutama tentang seberapa signifikannya kehadiran RUU Pornografi dalam memberantas pornografi
.
Pertama, bukankah berbagai peraturan perundang-undang yang ada sekarang telah mengatur tindak pidana pornografi termasuk yang disebarkan melalui media. Setidak-tidaknya seluruh perundang-undangan yang mengatur tentang media, seperi UU. 40 No. 1999 Tentang Pers, UU. No. 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran, UU. 8 Tahun 1992 Tentang Film dan UU No. 36 No. Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, telah pengaturan delik pornografi di masing-masing media tersebut. Sehingga argumentasi yang menyatakan bahwa tidak ada perangkat hukum dalam membendung pornografi di Indonesia adalah tidak tepat. Kedua, Persoalan mendasar dari tidak bekerjanya hukum bukan terletak pada tidak lengkapnya instrumen hukum tentang tindak pidana pornografi, namun terletak pada law enforcement oleh para aparat hukum, terutama kepolisian dalam memberantas pornografi. Oleh karena itulah, ada baiknya bila koalisi anti pornografi tidak menghabiskan tenaga dalam merumuskan RUU Pornografi, namun perjuangan haruslah diarahkan pada bagaimana membangkitkan social control masyarakat terhadap aparat penegak hukum dalam mengatasi penegakan peraturan yang melanggar delik pornografi.
Persoalan ketidakefektifan hukum nasional memang baru muncul ketika mengatasi pornografi yang disebarkan melalui Internet. Namun, hal ini bukan berarti tidak ada hukum nasional yang dapat diterapkan dalam menjerat delik ini. Pada dasarnya untuk informasi pornografi di Internet yang dibuat oleh warga negara Indonesia dimana pun ia berada, maka hukum nasional yang mengatur delik pornografi dapat menjerat pelakunya. Permasalahannya timbul karena sampai saat ini hukum nasional kita belum secara tegas mengakui alat bukti dalam bentuk elektronik dalam proses pembuktian di Pengadilan. Disinilah inti permasalahan mengapa kasus-kasus pornografi di Internet yang dibuat warga negara Indonesia, belum dapat dijerat oleh sistem hukum nasional.
Sehingga untuk memecahkan masalah ini bukan dengan membuat RUU Pornografi, namun dengan mempercepat mensyahkan UU yang memberikan landasan hukum nasional terhadap Internet. Saat ini di masyarakat telah muncul dua draf RUU yang mencoba memberikan aturan di internet. Kedua draf RUU tesebut, pertama draf RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU-IETE) yang dibuat atas kerjasama Tim Peneliti Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKHT-FHUI) dengan Deperindag dan Draf Rancangan Undang-undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI) yang dibuat oleh Tim Universitas Padjajaran dengan Dirjen Postel. Satu hal yang menarik bahwa kedua draf RUU ini mengatur secara tegas bahwa kedudukan alat bukti elektronik diakui dalam sistem hukum nasional.
Di dalam RUU IETE misalnya, walaupun RUU ini tidak memasukan rumusan tentang delik pornografi, namun bila kita kaji secara mendalam beberapa ketentuan RUU ini dapat digunakan untuk menjerat tindakan yang termasuk dalam tindak pidana mengenai pornografi. Bahkan, bila kita lihat rumusan tentang defenisi informasi elektronik (Informasi elektronik adalah segala macam data elektronik yang di antaranya meliputi teks, simbol, gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk lainnya) di Pasal 1 RUU ini, akan terlihat dengan jelas bahwa informasi pornografi di Internet masuk dalam rumusan informasi elektronik dalam RUU ini. Sedangkan keberadaan informasi pornografi dalam bentuk elektronik itu, diakui dalam sistem hukum nasional ditegaskan dalam pasal 3 RUU IETE. Rumusan ketentuan dalam pasal 3 menyatakan bahwa: Setiap orang tidak boleh menolak keberadaan dari suatu informasi hanya karena berbentuk elektronik.
Ketentuan yang mengatur bahwa tindakan mengenai pornografi di internet dilarang dalam sistem hukum nasional, dapat kita lihat dalam Pasal 27 RUU IETE. Pasal 27 ini dengan tegas menyatakan bahwa: Setiap orang dengan sengaja membuat informasi elektronik yang melawan hukum dan mengakibatkan kerugian pihak lain dipidana selama-lamanya 10 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). Ketentuan Pasal 27 RUU IETE ini merupakan instrumen hukum yang efektif untuk menjerat tindakan warga negara Indonesia dimana pun ia berada bila mencoba melakukan perbuatan tindak pidana mengenai pornografi di Internet. Dengan mempercepat mensahkan ketentuan hukum yang mengatur tentang keabshan alat bukti elektronik dalam sistem hukum kita, maka tidak alasan lagi bahwa instrumen hukum nasional dianggap “mandul” dalam menghadapi delik pornografi di Internet. Walaupun kita tidak mungkin menolak fakta bahwa problem utama penegakan hukum nasional kita saat ini adalah terjangkitnya penyakit “lemah syahwat” yang diderita hampir seluruh aparat penegak hukum di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar